tag:blogger.com,1999:blog-40261594720110504832024-02-22T10:36:14.967+07:00NAMARTUAOrang Batak yang mengukir sejarah dan mereka yang mengukir sejarah Tano Batak.Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.comBlogger19125tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-10115288915887390002010-08-28T22:59:00.001+07:002010-08-28T23:07:37.624+07:00M.S. Hutagalung<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg77Rd7qwJG8YdWRwIPIQ9eX1UZKjjO-_54LqRS2s817F56dWCpG1kF8fGCcnwJH7l15_zjLD7TkRgA43AJHaN3OFgw41V9Ox1YRTi5dpV-9snq08yCWv399InuNvb4HUnW10tlIDSC02WL/s1600/ms-hutagalung.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg77Rd7qwJG8YdWRwIPIQ9eX1UZKjjO-_54LqRS2s817F56dWCpG1kF8fGCcnwJH7l15_zjLD7TkRgA43AJHaN3OFgw41V9Ox1YRTi5dpV-9snq08yCWv399InuNvb4HUnW10tlIDSC02WL/s320/ms-hutagalung.jpg" width="230" /></a></div><h1 class="entry-title">M.S. Hutagalung</h1><br />
<div style="text-align: justify;">Kabar Indonesia – Mungkin generasi muda sekarang ini tidak banyak yang kenal dengan Mangasa Sotarduga Hutagalung. Beliau adalah M.S. Hutagalung pengarang buku sastra dan kritikus sastra. MS Hutagalung telah banyak memakan asam garam ikhwal sastra di Indonesia. Di masa mudanya di tahun 60-an, Hutagalung banyak menulis tentang kritik sastra terhadap siapa gitu. Ratusan kritik dan esai sastra yang telah ditulis dan dimuat di buku antologi sastra. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pada tahun 1971 -1973 pernah belajar Fakultas Sastra Universitas Leiden dalam program Leiden, studi Pasca Sarjana dalam bidang linguistik Terkenal di kalangan masyarakat kesusasteraan Indonesia sebagai seorang ahli sastra yang telah banyak menulis buku tentang kesusasteraan ; banyak menulis artikel sastra dalam majalah dan suratkabar ibukota, banyak membawakan kerja keras dalam seminar-seminar sastra. Ia juga pernah duduk dalam Komisi bahasa Indonesia yang bertugas membantu penyusunan “Alkitab Terjemahan Baru”.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Tak kurang kurang dari 10 bukunya yang telah diterbitkan antara lain: Tanggapan Jalan tak ada Ujung Muchtar Lubis (Gunung Agung, cet. 2,1963), Tanggapan Dunia Asrul Sani ( Gunung Agung,1967 ), Hari Penentuan (BPK Gunung Mulia,1967), Memahami dan Menikmati Puisi (BPK Gunung Mulia 1971 ; mendapat penghargaan dari Departmen Pemuda ), Telaah Puisi (BPK Gunung Mulia 1973), Kritik atas Kritik atas Kritik (Tulila, 1975 ), Membina Kesusasteraan Indonesia Modern (Corpatarin utama 1988), Telaah Puisi Penyair Angkatan Baru (Tulila, 1989). Dalam buku ini termuat pembicaraannya tentang hampir semua penyair utama di Indonesia (Angkatan Baru ), mulai dari Toto Sudarto Bachtiar, Ajib Rosidi, Subagio Sastrowardoyo, Gunawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Popy M.Hutagalung, Fridolin Ukur dan lain-lain. </div><br />
<div style="text-align: justify;">Kemudian dalam 2 tahun terakhir ini buku yang terbit adalah Perjalanan 40 tahun GKPI Jemaat Rawamangun bersaksi, PENATUA, Tugas dan Syarat, Menumbuh Kembangkan Jemaat (Kolportase GKPI Rawamangun, 2006). Pada mulanya MS menulis sajak dan cerpen dan disiarkan oleh RRI Medan. Setelah tamat dari Universitas Indonesia puluhan bukunya telah diterbitkan. Ratusan kritik dan esainya tersebar di koran dan majalah. M.S Hutagalung lahir di Tarutung, Sumut 8 Desember 1937, lulus tahun 1964 pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mengajar pada fakultas yang sama dengan mata kuliah kesusasteraan Indonesia. Pada tahun 1984 bertugas di Universitas Sains di Penang -Malaysia sebagai dosen tamu. Dia sempat mengenyam pendidikan S2 di Leiden bahkan selama 7 tahun mengajar sebagai dosen tamu di Universitas Sains Penang, Malaysia. Sebelum pensiun, dia juga mengajar bahasa Indonesia Sastra Indonesia di Universitas Kristen Indonesia, Universitas Nasional, STT Jakarta dan STT Cipanas.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Puisi Penting, Tetapi Tak Laku</div><div></div><div style="text-align: justify;">Dua puluh tahun lalu dia pernah berkomentar dalam bukunya Telaah puisi Penyair Angkatan Baru, dan itu juga yang diulanginya ketika saya bertemu dengannya dua bulan lalu di rumahnya bilangan Pemuda Asli, Rawamangun, Jakarta Timur : Saya heran kalau dikatakan bahwa puisi dirasakan penting, tetapi mengapa tidak laku? Disamping yang mendewa-dewakan atau memistik-mistikkan puisi atau sastra, tidak kurang juga banyaknya orang-orang yang melecehkan arti puisi. Bagi mereka puisi itu adalah ciptaan orang-orang yang suka melamun dan hanya berguna untuk orang-orang yang melamun juga. Sajak-sajak yang berserakan di mana-mana dan sajak cengeng dan seenaknya seakan memperkuat alasan mereka bahwa sajak sebenarnya adalah hasil pekerjaan orang-orang iseng yang mempermainkan kata-kata. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Kita harus mengakui bahwa zaman kita bukanlah zaman seni, tetapi zaman ilmu, tekonologi, ekonomi dan lain-lain. Tetapi zaman ini pulalah mulai terbukti bahwa apa yang telah agak lama dikahawatirkan orang-orang bijak: merosotnya nilai-nilai kemanusiaan. Tidak kurang dari seorang Menteri Agama kita sendiri berkata bahwa hidup tanpa seni adalah kekasaran. Memang untuk dapat melihat makna sesuatu untuk kehidupan, kita perlu mencoba membayangkan hidup kita tanpa seni. Sebab sesuatu itu mungkin tidak kita sadari lagi maknanya, karena sudah terlalu biasa seperti “udara”. Saya kira memang banyak orang yang sudah tak dapat hidup lagi tanpa musik kesayangannya, tanpa buku sastra, tanpa tari. Tapi tanpa sajak atau puisi? Sangat mengerikan. Anak-anak sekarang kita tidak lagi menyanyikan tentang Pelangi atau Bintang kecilnya Ibu Sud. Dapatkan dibayangkan, kebaktian di gereja akan hambar dan pembicaraan di pesta adat dan antara kita mungkin menjadi kurang semarak dan membosankan, karena tidak diselingi lagi oleh pepatah-petitih atau gaya khas yang kita pergunakan. Pada zaman ini hati kita semakin kebal. Rasa ibahati, belas kasihan, pengorbanan semakin hilang.<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Di samping merangsang kepekaan kita pada keindahan, kesenian dan terutama sastra juga selalu merangsang hati kita terhadap kemanusiaan, kehidupan bahkan kepada alam sekeliling. Kehidupan memang adalah jantung dari sastra. Sastra merangsang kita untuk lebih memahami, menghayati kehidupan. Sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan kepada kita, tetapi menampilkannya, mengkonkretkannya.</div><div></div><div style="text-align: justify;">Meski Sakit di Usia Senja, Karya Tetap Eksis</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Karena selama menjelang pensiun MS Hutagalung banyak berkiprah di llingkungan gereja, puisinya banyak becerminkan tentang hidup dan kehidupan yang menjadi renungan yang mendalam kepada yang membacanya. M.S. Hutagalung menempatkan masa lalu dengan optimisme yang penuh semangat. Harus diakui bahwa Hutagalung kini tidak lagi secara cermat mengikuti perjalanan kritik sastra Indonesia, karena matanya sudah rabun. Bahkan kini ia tengah bergulat dengan alat pencuci darah yang terpaksa dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Cairan harus segera dimasukkan ke dalam tubuhnya empat kali dalam sehari. “Kita jalani sajalah dengan penuh syukur, apa yang terjadi kini”, kata Aksa Mary Tobing, belahan jiwanya yang setia mendampinginya.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Permata Kehidupan</div><div></div><div style="text-align: justify;">Dua bulan lalu bersama Astar Siregar teman mahasiswa dan teman seasramanya di Daksinapati, Rawamangun, telah menerbitkan sebuah buku. Di dalam buku antologi puisi berjudul: Permata Kehidupan, Sajak-sajak Lansia bersampul luks ini, MS Hutagalung yang genap berusia 71 tahun 8 desember 2007 ini, menulis 31 judul sajak yang ditulis selama tahun 2007. Maka lahirlah perenungan di dalam relung-relung hati yang amat dalam. </div><br />
<div style="text-align: justify;">Coba kita simak dalam puisinya berjudul Aku ingin menari seperti daun gugur: Aku ingin seperti daun itu/ menarikan tarian yang paling indah/ Atau menyanyikan sebauah lagu paling merdu/ Sebelum jasadku kembali bersatu dengan tanah/ Sebagai ucapan terima kasih kepada Pemberi Hidup atau “Aku Bergegas dan Tersandung”: yang dengan sederhana tetapi sedemikian rupa sanggup menohok kecendrungan manusiawi dan kefanaan kita. Kemudian kita lihat lagi karyanya dalam judul lain seperti “Kunjungan bunda, Cinta terpendam, Sajak untuk isteriku, Menempuh tahun 2007 dengan merangkak”dan lain-lain. Karyanya seperti berbicara langsung dengan Tuhannya : mengakui kegelisahan dan ketakmengertiannya sehingga mengharapkan kembali belajar dan bersekolah lagi tentang ajaran, perintah dan hakikat hidup serta penciptanya. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Riris dan Maman Berkomentar </div><div></div><div style="text-align: justify;">“Kumpulan sajak Permata Kehidupan yang ditulis oleh dua sahabat yang kebetulan pada masa produktifnya adalah pengajar di Universitas Indonesia, bukan hanya memberi pengalaman dan pengetahuan pada pembacanya, tetapi juga sekaligus dapat memberi kelegaan pada penulisnya.” kata Prof. Riris K Toha Sarumpaet, Ph.D dari Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Membaca sajak-sajak yang longgar namun sungguh dan tulus ciptaan M.S. Hutagalung ibarat membuku buku harian, atau laporan sederhana yang berkisah tentang misalnya dan lain-lain. Seperti berbicara langsung dengan Tuhannya, mengakui kegelisahan dan ketakmengertiannya sehingga mengharapkan kembali belajar dan bersekolah lagi tentang ajaran, perintah dan hakikat hidup serta penciptanya, sang penyair berkata, “Seperti cuaca musim pancaroba/setiap saat bisa berubah, kalau menghadapi yang begini/Aku ingin kembali ke kelas katekisasi.” Penyesalan, pengakuan, dan penerimaan hidup secara berulang berkelebat dalam sajak sajak M.S. Hutagalung seperti tampak pada sajaknya “Permata dan Kerikil” atau “Ingin Jadi Orang Berhidmat dan lain-lain.” Mesin pencuci darah telah melahirkan pesimisme dalam menatap masa depan. Sesuatu yang sangat manusiawi. Segalanya habis. Tetapi kemudian, spirit istri, doa kerabat dan keteguhan iman, memberi penyadaran, bahwa itulah kehendakNya. Maka dengan kehendak-Nya pula, di depan terhampar kemenangan ; optimisme untuk bertahan, bercinta dengan gereja dan jemaatnya, dan bertegur sapa dengan manusia dan kemanusiaan.<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">Di hiruk pikuk kemajuan dan keblinger manusia, tidakkah pengucapan serupa ini merupakan pengucapan yang sangat pedih dan dengan cara sederhana sekalipun, mengingatkan dan mendidik kita akan harga sebuah kehidupan? Dengan cara inilah sajak menyapa manusia, dan dengan cara serupa pula penyair melepaskan risau dan gelisahnya, karena tahu dengan komunikasi ini, ia telah mengatakan dan menyuratkan bahkan berbuat sesuatu.</div><br />
<div style="text-align: justify;">“Renungan tentang masa lalu yang mendominasi puisi M.S. Hutagalung dan tanggapan evaluatif atas kondisi masa kini kerap disampaikan, menjadikan antologi puisi ini seperti menawarkan dua semangat yang berorientasi pada dua masa yang berbeda”, kata Maman S. Mahayana M.Hum, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.” M.S. Hutagalung mencoba menghubungkan masa kini sebagai alat refleksi mengembalikan masa lalu sebagai renungan kontemplatif.</div><br />
<div style="text-align: justify;">Sementara itu Astar Siregar menempatkan masa kini sebagai alat untuk memaknai posisi kekiniannya sebagai mahluk sosial. Ia begitu perduli pada problem sosial yang seperti memaksanya harus ikut menyuarakan kegelisahannya. Maka ia mencoba memberi penyadaran, betapa pentingnya menatap masa depan dengan gairah cinta kasih dan toleransi” Semangat kesetaraan dan pengagungan yang sejajar pada sesama umat beragama dan sesama manusia, tidak hanya memancarkan élan multikulturalisme dalam lingkup keindonesiaan, tetapi juga diyakini dapat membawa negeri ini pada dua kata kunci : damai dan sejahtera.</div><div></div><div style="text-align: justify;">Dua minggu lalu, ketika saya besuk di RS. Cikini, penyakitnya semakin berat. M.S. Hutagalung tampak lemah. Wajahnya pucat pasi. Ketika tulisan ini dibuat, Beliau masih tetap dirawat meskipun sudah diijinkan pulang ke rumahnya di bilangan Rawamangun. Cairan infus harus selalu dimasukkan ke dalam tubuhnya empat kali dalam sehari. Kiranya Tuhan senantiasa campur tangan dengan kehidupannya kini. </div><br />
Oleh : Hotma D. L.tobing<br />
<br />
sumber; www.kabarindonesia.comDio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-56667239866566195812010-08-23T20:30:00.001+07:002010-08-23T20:34:30.385+07:00Dr T. D. Pardede<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://pustaka.budpar.go.id/lib/anoa/mod/geulis/img/book_cover/987.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://pustaka.budpar.go.id/lib/anoa/mod/geulis/img/book_cover/987.jpg" width="216" /></a></div><br />
<b style="font-size: 18pt;">Beliau Pekerja Keras dan Optimis</b> <br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b>Oleh : Tommy Marpaung</b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">SOSOK (Alm) DR Tumpal Dorianus Pardede atau yang sering disapa DR TD Pardede cukup diacungkan jempol. Gebrakannya dalam memajukan kesejahteraan masyarakat Sumatera Utara khususnya di Kota Medan tidak diherankan lagi. Berbagai upaya beliau dalam menciptakan lapangan pekerjaan didalam industri tekstil, perhotelan, pendidikan, olahraga, perkebunan, rumah sakit, dan lain sebagainya telah dirasakan masyarakat luas.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sekadar mengingatkan, DR TD Pardede adalah putra terbaik Sumatera Utara yang lahir di Balige, Tapanuli Utara 16 Oktober 1916 silam. Setelah sukses berkarya sejumlah bidang usaha, beliau ‘dipanggil’ Yang Maha Kuasa pada 18 November 1981. Sepeninggalan beliau, setiap tahunnya keluarga besar TD Pardede memperingati hari wafatnya orangtua mereka dengan menggelar sejumlah kegiatan. Seperti halnya, Rabu (18/11), putri pertama Alm TD Pardede, Sariaty Pardede bersama keluarga menggelar peringatan tersebut.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kegiatan tersebut diawali dengan mengunjungi makam kedua orangtua mereka DR TD Pardede dan Hermina Napitupulu di Jalan DR TD Pardede Medan, persisnya di areal RSU Herna Medan .</span></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Selanjutnya, Sariaty bersama rombongan Universitas Darma Agung, ISTP Medan, Akademi Pariwisata TD Pardede bergerak ke Kompleks TD Pardede Jalan Binjai kilometer 10,5 Medan-Binjai. Di sana, Sariaty bersama keluarga menggelar jalan santai seputaran Kompleks TD Pardede, senam santai serta meresmikan sebuah gedung ‘Sport Center’ yang difungsikan untuk kegiatan olahraga bersama.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Saat ditemui <i>BATAKPOS</i> di sela-sela acara peresmian tersebut, Sariaty menyebutkan bahwa sosok almarhum ayahnya dikenal pekerja keras dan selalu optimis melaksanankan sesuatu. “TD Pardede orangnya pekerja keras dan selalu ingin memberikan yang terbaik kepada masyarakat luas,”ujarnya seraya menambahkan kegiatan memperingati wafatnya TD Pardede setiap tahunnya mereka laksanakan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sementara itu, Rektor Universitas UDA Prof Dr Robert Sibarani MS didampingi Rektor ISTP Ir Rudolf Sitorus, MLA mengatakan, TD Pardede memiliki dua yayasan yakni TD Pardede Holding Company dan TD Pardede Foundation. Kedua yayasan itu meliputi bidang perkebunan, rumah sakit, pendidikan, perhotelan, dan pertekstilan. “Kalau yang lain-lainnya semakin maju, tapi tekstil nya tidak ada lagi,”jelas Robert.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-size: 12pt; text-align: justify;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Sibarani menambahkan bahwa DR TD Pardede memiliki banyak filosofi di antaranya, filosofi valutama yang mengandung nilai-nilai kejujuran dan kelakuan serta bekerja keras dalam melaksanakan sesuatu</span>.</div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-53655687324932855152010-08-23T20:08:00.000+07:002010-08-23T20:08:20.353+07:00T. D. Pardede<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRnueXgHoo-RlTgQiHHQ-wSPBpJM63Zv-TL1LpLjm4BK-2QaL8G711UjgVtIRgIJB40MsfMxPeK-rTqzA3UGYcZIcXf7plF_bGdgn0QlSe6npv_ok44SRgFWKF16aHAtTrI5i0EnGKdIl1/s1600/987.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRnueXgHoo-RlTgQiHHQ-wSPBpJM63Zv-TL1LpLjm4BK-2QaL8G711UjgVtIRgIJB40MsfMxPeK-rTqzA3UGYcZIcXf7plF_bGdgn0QlSe6npv_ok44SRgFWKF16aHAtTrI5i0EnGKdIl1/s320/987.jpg" /></a></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-7811967941799513082010-08-22T19:05:00.007+07:002010-08-22T19:17:45.990+07:00Mayor Jenderal D. I. Panjaitan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e0/Panjaitan.jpg/180px-Panjaitan.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/e/e0/Panjaitan.jpg/180px-Panjaitan.jpg" width="245" /></a></div><h1><span style="font-size: large;">Pembongkar Konspirasi PKI - RRC</span></h1><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Keberhasilan Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan membongkar rahasia kiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk Partai Komunis Indonesia (PKI) serta penolakannya terhadap rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani, membuat dirinya masuk daftar salah satu perwira Angkatan Darat yang dimusuhi oleh PKI. Kebencian PKI itu kemudian berujung pada aksi penculikan serta pembunuhan dirinya saat pemberontakan Gerakan 30 September 1965.</span></div><br />
<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pria kelahiran Balige, Tapanuli yang bernama lengkap Donald Isac Panjaitan, ini masuk militer pada jaman pendudukan Jepang. Setelah lebih dulu mengikuti latihan Gyugun, ia selanjutnya ditugaskan di Gyugun Pekanbaru, Riau. Setelah kemerdekaan RI, ia merupakan salah seorang pembentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Di TKR, ia mengawali kariernya sebagai komandan batalyon, selanjutnya ia sering berpidah tugas. Setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan, ia diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara & Teritorial (T&T) I/Bukit Barisan di Medan. Ia juga pernah bertugas sebagai Atase Militer di Bonn, Jerman. Terakhir ia bertugas sebagai Asisten IV Menteri/ Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ketika peristiwa sadis itu menimpa dirinya. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Penganut Kristen ini, terkenal sangat taat beragama. Karenanya, dia juga salah satu perwira di jajaran TNI AD yang tidak menyukai PKI sekaligus yang menolak pembentukan Angkatan Kelima yang terdiri atas buruh dan tani sesuai rencana PKI. Dan karena itulah dirinya dimusuhi dan dibunuh oleh PKI. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dengan bertameng alasan dipanggil oleh Panglima Tertinggi Presiden Soekarno, tujuh perwira tinggi TNI AD, pada malam 30 September atau pagi dinihari tanggal 1 Oktober 1965 hendak diculik oleh sekelompok berpakaian Pengawal Presiden yang kemudian diketahui adalah pasukan PKI. Enam perwira tinggi itu berhasil diculik, namun Jenderal A.H. Nasution berhasil lolos tapi puteri dan ajudannya menjadi korban peristiwa itu.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan yang malam dinihari itu merasa heran akan pemanggilan mendadak itu. Namun karena loyalitasnya pada pimpinan tertinggi militer, Presiden Soekarno, ia pun berangkat namun terlebih dahulu berpakaian resmi. Namun firasatnya yang tajam sepertinya merasakan bahaya yang sedang terjadi. Sebelum memasuki mobilnya, dengan berdiri di samping mobil ia lebih dulu memohon doa kepada Tuhan. Namun belum selesai menutup doanya, pasukan PKI sudah memberondongnya dengan peluru.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ia bersama enam perwira lainnya, lima diantaranya perwira tinggi yakni: Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen.TNI Anumerta S Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan satu perwira pertama, ajudan Jenderal Nasution yakni Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean pada malam itu gugur sebagai bunga bangsa demi mempertahankan ideologi Pancasila.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pencarian yang dilakukan di bawah pimpinan Soeharto (Mantan Presiden RI yang waktu itu menjabat sebagai Pangkostrad), ditemukanlah jenazah Panjaitan di Lubang Buaya, terkubur massal di dalam satu sumur tua yang tidak dipakai lagi bersama enam perwira lainnya. Ia gugur sebagai Pahlawan Revolusi, kemudian dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pangkatnya yang sebelumnya masih Brigadir Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Mayor Jenderal. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kini di Lubang Buaya, Jakarta Timur di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, berdiri Tugu Kesaktian Pancasila sebagai tugu peringatan atas peristiwa itu. Dan pada era pemerintahan Soeharto ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. </span></div><div style="text-align: justify;"><b><br />
</b></div><br />
*** <b>TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)</b>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-69878123536534400162010-08-21T09:57:00.003+07:002010-08-21T10:24:03.032+07:00Muchtar Lubis<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5AUWVhua46Dk2J-FriNePK-TGq5Ov70KqDVAh4VGUJHk9pA0ckhNHqC0-9LbqZwLVsEgS1WZVf6OsFMM-PeEKgcweiUv-5gC30ov1b3geSAWQd04AJR9nahwkufizWrejLU0KTdt7FdfH/s1600/LubisMochtar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5AUWVhua46Dk2J-FriNePK-TGq5Ov70KqDVAh4VGUJHk9pA0ckhNHqC0-9LbqZwLVsEgS1WZVf6OsFMM-PeEKgcweiUv-5gC30ov1b3geSAWQd04AJR9nahwkufizWrejLU0KTdt7FdfH/s320/LubisMochtar.jpg" /></a></div><br />
<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Mochtar Lubis</b> (lahir di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Padang" title="Kota Padang">Padang</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera_Barat" title="Sumatera
Barat">Sumatera Barat</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/7_Maret" title="7 Maret">7 Maret</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1922" title="1922">1922</a> – meninggal di <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Jakarta" title="Jakarta">Jakarta</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/2_Juli" title="2 Juli">2 Juli</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/2004" title="2004">2004</a> pada umur 82 tahun) adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama asal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia" title="Indonesia">Indonesia</a>. Sejak zaman pendudukan Jepang ia telah dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan Kantor Berita <i><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/ANTARA" title="ANTARA">ANTARA</a></i>, kemudian mendirikan dan memimpin harian <i><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia_Raya" title="Indonesia Raya">Indonesia Raya</a></i> yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra <i><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Horizon" title="Horizon">Horizon</a></i> bersama-sama kawan-kawannya. Pada waktu pemerintahan rezim <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarno" title="Soekarno">Soekarno</a>, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1966" title="1966">1966</a>. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku <i>Catatan Subversif</i> (<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1980" title="1980">1980</a>).</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pernah menjadi Presiden Press Foundation of Asia, anggota Dewan Pimpinan <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Association_for_Cultural_Freedom&action=edit&redlink=1" title="Association for Cultural Freedom (halaman belum
tersedia)">International Association for Cultural Freedom</a> (organisasi <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/CIA" title="CIA">CIA</a>), dan anggota <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=World_Futures_Studies_Federation&action=edit&redlink=1" title="World Futures Studies Federation (halaman belum
tersedia)">World Futures Studies Federation</a>. Novelnya, <i>Jalan Tak Ada Ujung</i> (1952 diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A.H. John menjadi <i>A Road With No End</i>, London, 1968), mendapat <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Hadiah_Sastra_BMKN&action=edit&redlink=1" title="Hadiah Sastra BMKN (halaman belum tersedia)">Hadiah Sastra BMKN</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1952" title="1952">1952</a>; cerpennya <i>Musim Gugur</i><i>Kisah</i> tahun 1953; kumpulan cerpennya <i>Perempuan</i> (1956) mendapatkan Hadiah Sastra Nasional BMKN 1955-1956; novelnya, <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Harimau%21_Harimau%21&action=edit&redlink=1" title="Harimau! Harimau! (halaman belum tersedia)">Harimau! Harimau!</a></i> (1975), meraih hadiah Yayasan Buku Utama Departeman P & K; dan novelnya <i>Maut dan Cinta</i> (1977) meraih Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya tahun 1979. Selain itu, Mochtar juga menerima Anugerah Sastra Chairil Anwar (1992).</span> menggondol hadiah majalah<br />
<br />
<h1><span style="font-size: small;">Pahlawan di Pentas Jurnalistik</span></h1>Pemred mantan Harian Indonesia Raya ini meninggal dunia di RS Medistra, Jakarta pukul 19.15 WIB Jumat 2 Juli 2004. Selain sebagai wartawan, penerima Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan, ini juga dikenal sebagai sastrawan. Pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal, kemudian menulis novel. Di antara novelnya: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba.<br />
<br />
Disemayamkan di rumah duka, kemudian siang usai salat Zuhur, almarhum dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan, Sabtu 3 Juli 2004. Dia meninggalkan tiga anak, yakni Indrawan Lubis, 58, Arman Lubis, 52, dan Yana Zamin Lubis, 50 serta 8 cucu. Istrinya, Halimah, sudah lebih dulu tutup usia pada 27 Agustus 2001. Sejak kehilangan orang yang sangat dicintainya, kesehatan Mochtar tterus merosot. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan sering bertanya, "Di mana Ibu?"<br />
<br />
Menurut puteranya, Arman, ayahnya memang sudah lama menderita sakit. Beberapa penyakit yang dideritanya antara lain, penyakit kanker prostat dan alzheimer. Bahkan, tiga tahun terakhir ini sudah tidak bisa berkomunikasi lagi dengan anak-cucunya."<br />
<br />
Sepekan sebelum meninggal, dia sesak napas, kerongkongannya penuh lendir, lalu dibawa ke rumah sakit Medistra 23 Juni 2004 dan masuk ruang unit perawatan intensif. Sudah hampir dua tahun dia menderita penyakit alzheimer. Beberapa bulan terakhir nyaris tak lagi mengenal orang yang terdekat dengannya. <br />
<br />
Ia pernah dipenjara karena karya-karya jurnalistiknya. Wartawan senior ini lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Setelah tamat sekolah dasar berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh, dia melanjutkan pelajaran di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam. Pendidikan formalnya tidak sampai pada taraf AMS atau HBS.<br />
<br />
Namun, putera Pandapotan Lubis, pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pemerintah kolonial Hindia Belanda yang ketika pensiun pertengahan 1930-an menjabat sebagai Demang atau Kepala Daerah Kerinci, ini sempat menjadi guru sekolah di Pulau Nias, sebelum datang ke Jakarta. Ia memang seorang otodidak tulen.<br />
<br />
Pada zaman Jepang, ia bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri. Berita yang didengar lalu dituliskan dalam laporan untuk disampaikan kepada Gunseikanbu, kantor pemerintah bala tentara Dai Nippon. Demi sekuriti dan agar berita radio itu tidak tersebar ke dalam masyarakat, tim monitor tinggal terpisah dalam kompleks perumahan di Jalan Timor, di belakang hotel milik Jepang, di Jalan Thamrin sekarang. Dalam tim itu terdapat Dr. Janssen mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor yang paham bahasa Jepang, J.H. Ritman mantan Pemred Harian Bataviaasche Nieuwsblad, Thambu mantan wartawan Ceylon yang melarikan diri dari Singapura setelah kota itu jatuh ke tangan Jepang dan Mochtar Lubis. Pada masa itulah, akhir 1944, Lubis menikah dengan gadis Sunda, Halimah, yang bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja. (Halimah meninggal pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001).<br />
<br />
Setelah proklamasi kemerdekaan dan kantor berita Antara yang didirikan tahun 1937 oleh Adam Malik dkk muncul kembali. Mochtar Lubis bergabung dengan Antara. Karena paham bahasa Inggris secara aktif, ia menjadi penghubung dengan para koresponden asing yang mulai berdatangan ke Jawa untuk meliput kisah Revolusi Indonesia. Sosoknya yang tinggi 1.85 meter merupakan pemandangan familier di tengah war correspondents yang bule-bule. <br />
<br />
Menjelang penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, ia bersama Hasjim Mahdan mendapat ide untuk memulai surat kabar baru. Maka lahirlah harian Indonesia Raya. Mochtar Lubis sebagai pemrednya. Ketika pertengahan 1950 pecah Perang Korea, Lubis pergi meliput pertempuran di Korea Selatan. Lalu ia pun terkenal sebagai koresponden perang. Pada parohan pertama dasawarsa 1950, ketika di zaman liberal, demokrasi parlementer, sangat dominan adanya personal journalism. Maka, Moctar Lubis adalah identik dengan Indonesia Raya, begitu pula sebaliknya. Surat kabar dikenal oleh yang memimpinnya: B.M. Diah di Merdeka, S Tasrif di Abadi, Rosihan Anwar di Pedoman. <br />
<br />
Sebelum dikenai tahanan rumah pada 1957 dan tahanan penjara selama sembilan tahun sampai 1966, menurut penuturan H. Rosihan Anwar, Mochtar Lubis membikin masyarakat gempar dengan beberapa cerita/berita, yang disebut "affair". <br />
<br />
Pertama, affair pelecehan seksual yang dialami Nyonya Yanti Sulaiman, ahli purbakala, pegawai Bagian Kebudayaan Kementerian P & K. Bosnya di bagian itu bernama Sudarsono tidak saja berusaha merayu, melainkan juga mengeluarkan kata-kata seks serba "serem". Tidak saja Indonesia Raya, melainkan juga Pedoman berhari-hari menyiarkan cerita asyik tentang sang Don Juan Sudarsono. <br />
<br />
Kedua, affair Hartini ketika terungkap hubungan Presiden Soekarno dengan seorang wanita di Salatiga yang mengakibatkan Nyonya Fatmawati berang dan kemudian meninggalkan istana. <br />
<br />
Ketiga, affair Roeslan Abdulgani. Pada 13 Agustus 1956, CPM menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan Kepala Staf Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan bisa berangkat ke luar negeri. <br />
<br />
Dapat dimengerti apabila Presiden Soekarno yang tengah mewujudkan konsep politiknya --kelak menjelma sebagai demokrasi terpimpin Orde Lama-- marah-marah terhadap Lubis dan Indonesia Raya. Kolonel A.H. Nasution menjadi sekutu terpercaya Soekarno. Di musim gugur 1956, International Press Institute menyelenggarakan pertemuan para editor Indonesia dan editor Belanda di Zurich, Swiss, untuk mendiskusikan hubungan kedua negara. Sehari sebelum keberangkatan para editor, Mochtar dan Rosihan Anwar diinterogasi oleh CPM selama delapan jam di markasnya mengenai "sesuatu pemberitaan". Mereka diminta untuk stand by terus, namun tidak mereka indahkan. <br />
<br />
Keesokan harinya, Mochtar dan Rosihan Anwar serta Diah, Tasrif, Wonohito, Adam Malik naik pesawat KLM dari Kemayoran. Lebih dari sebulan mereka berada di luar negeri menunggu situasi aman di Tanah Air. Kemudian mereka kembali dan di bandara diberitahu, mereka tidak akan ditangkap oleh Jaksa Agung. Rosihan Anwar memang tidak diapa-apakan, tetapi Mochtar tidak lama kemudian dikenai tahanan rumah. Ia mencoba memimpin Indonesia Raya dari rumah, tapi makin hari makin sulit situasinya. Pada 1961, ia dipindahkan ke penjara Madiun dan di sana ditahan bersama mantan PM Sjahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Sultan Hamid, Soebadio Sastrosatomo dan lain-lain. Keadaan di Tanah Air kacau. Peristiwa PRRI-Permesta menggoyahkan stabilitas. Kebebasan pers sirna. Indonesia Raya, Pedoman, Abadi dilarang terbit oleh Soekarno-Nasution. <br />
<br />
Selain sebagai wartawan, Mochtar Lubis juga dikenal sebagai sastrawan. Ia pandai pula melukis dan membuat patung dari keramik. Mulanya dia menulis cerpen dengan menampilkan tokoh karikatural si Djamal. Kemudian dia bergerak di bidang penulisan novel. Di antara novelnya dapat disebut: Harimau, Harimau!, Senja di Jakarta, Jalan Tak Ada Ujung, Berkelana Dalam Rimba. Dia memperoleh Magsaysay Award untuk jurnalistik dan kesusastraan. <br />
<br />
Setelah tahun 1968 Indonesia Raya diizinkan terbit kembali, Lubis melancarkan "perang salibnya" terhadap korupsi di Pertamina. Bos perusahaan negara itu, Letnan Jenderal Ibnu Soetowo, disorot dengan tajam, namun sia-sia belaka. Ibnu boleh mundur sebagai Direktur Utama Pertamina, akan tetapi posisinya tetap kokoh dan harta yang dikumpulkannya tidak dijamah. Mochtar lubis memang menjadi pahlawan di pentas jurnalistik, itulah yang amat disukainya. Apakah soalnya menyangkut pencemaran lingkungan hidup atau pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM), bisa dijamin ia ada di sana sebagai pembela perjuangan untuk yang benar dan adil. "Hero-complex"-nya menjadi motor pendorong dan motivasi penting dalam tindak-tanduknya. <br />
<br />
Ketika terjadi peristiwa Malari Januari 1974 dan para mahasiswa beraksi mendemo PM Tanaka dari Jepang, kebakaran terjadi di Pasar Senen, disulut oleh anak buah Ali Moertopo, Presiden Soeharto jadi gelagapan. Ia instruksikan membredel sejumlah surat kabar, di antaranya Indonesia Raya, Pedoman, dan Abadi. Lubis sendiri ditahan selama dua bulan.<br />
<br />
Setelah bebas lagi bergerak, Mochtar banyak aktif di pelbagai organisasi jurnalistik luar negeri seperti Press Foundation of Asia. Di dalam negeri, dia mendirikan majalah sastra Horison dan menjadi Direktur Yayasan Obor Indonesia yang berprestasi menerbitkan buku-buku bermutu, baik yang dari luar negeri maupun domestik. Usaha penerbitan itu bisa tinggal landas lantaran yayasan ini memperoleh dana dari luar, seperti Ivan Kats dari Asia Foundation. Sesungguhnya, salah satu ciri khas Mochtar Lubis ialah PR (public relations) yang kuat, keluwesan bergaul, antusiasme terhadap sesuatu cause seperti ekologi, demokrasi, keadilan, dan hukum. Pintu yang diketoknya menjadi terbuka dan soal pendanaan tak jadi masalah. <br />
<br />
Pada saat acara HUT ke-80 Mochtar Lubis, 9 Maret 2002 lalu, seorang pembicara dari LIPI, yaitu Dr. Mochtar Pabottinggi, menamakan Mochtar sebagai "person of character", insan nan berwatak. Di negeri kita sekarang, makin langka "person of character" itu. Bung Hatta di zaman Pendidikan Nasional Indonesia awal 1930-an suka menyerukan agar tampillah manusia-manusia yang punya karakter. Ibu Pertiwi tetap mengharapkan dan memerlukan banyak "person of character".<br />
<br />
Maka, tutur wartawan senior H. Rosihan Anwar, dalam kolomnya di Majalah Gatra Nomor 17 Tahun ke VIII, 11 Maret 2002, yang menjadi sumber artikel ini: "Dalam cahaya, kita menghormati wartawan Mochtar Lubis yang sudah sepuh. Sudah saatnya dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Mahaputra oleh Presiden RI." ►<b>tsl, </b> <i>dari berbagai sumber</i></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-43355964997790461322010-08-21T00:18:00.005+07:002010-08-21T00:36:02.036+07:00Nahum Situmorang<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPEhURscIn9AMsX1NMH3PCghpLTgMK4KYExwlnwaeBBwbl50S1GvCCuAvA_fx-knyNhyL87p1Kr0pTDNpuTTSY4jIVnHhoZ1-XSEO8Lu8jKH6FBt42x81ffAylO0BndSbZDanT25Fqhyphenhyphen7N/s1600/nahum+situmorang.bmp" imageanchor="1" style="clear: right; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPEhURscIn9AMsX1NMH3PCghpLTgMK4KYExwlnwaeBBwbl50S1GvCCuAvA_fx-knyNhyL87p1Kr0pTDNpuTTSY4jIVnHhoZ1-XSEO8Lu8jKH6FBt42x81ffAylO0BndSbZDanT25Fqhyphenhyphen7N/s400/nahum+situmorang.bmp" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i><span style="font-size: small;">Beha ma Ho Doli songon buruk-buruk ni rere ....</span></i><br />
<br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">SUDAH 40 tahun ia wafat, namun namanya kian sering disebut-sebut. Lagu-lagu gubahannya pun tiada putus disenandungkan; menghibur orang-orang, menafkahi pekerja dunia malam, mengalirkan keuntungan bagi pengusaha hiburan dan industri rekaman. Tapi, orang-orang, khususnya etnis Batak dan yang familiar dengan lagu Batak, segelintir saja yang tahu siapa dia sesungguhnya. Ironisnya lagi banyak yang tak sadar bahwa sejumlah lagu yang selama ini begitu akrab di telinga mereka, lahir dari rahim kreativitas lelaki yang hingga ajalnya tiba tetap melajang itu.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span id="more-1924"></span></span> </div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Apa boleh buat, selain catatan atas diri Nahum sendiri yang memang minim, ia terlahir dan berada di tengah sebuah bangsa yang amat rendah tingkat pengapresiasian atas suatu karya cipta; yang hanya suka menikmati karya orang lain tanpa mau tahu siapa penciptanya, selain enggan memberi penghargaan pada orang-orang kreatif yang telah memperkaya khazanah karsa dan rasa. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Nahum pun menjadi sosok yang melegenda namun tak pernah tuntas diketahui asal-usulnya. Sulit menemukan sumber yang sahih untuk menerangkan seperti apakah dulu proses kreatifnya, peristiwa atau pengalaman pahit apa saja yang memengaruhi kelahiran lagu-lagu ciptaannya, seberapa besar andilnya menumbuhkan semangat kemerdekaan manusia Indonesia dari kuasa penjajah, dan jasanya yang tak sedikit untuk menyingkap tirai keterbelakangan manusia Batak di masa silam. Ia adalah pejuang yang dibengkalaikan bangsa dan negerinya, terutama sukunya sendiri. Seseorang yang sesungguhnya berjasa besar mencerdaskan orang-orang sekaumnya namun tak dianggap penting peranannya oleh para penguasa di bumi leluhurnya. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Nahum sendiri mungkin tak pernah berharap jadi pahlawan yang akan terus dipuja hingga dirinya tak lagi berjiwa. Pula tak pernah membayangkan bahwa namanya akan tetap hidup hingga zaman memasuki era millenia. Boleh jadi pula tak pernah bisa sempurna ia pahami perjalanan hidupnya hingga usianya benar-benar sirna. Ia hanya mengikuti alur hati dan pikirannya saat melintasi episode-episode kehidupan dirinya yang dipenuhi romantika yang melekat dalam diri para pelakon gaya hidup avonturisme. Tak mustahil pula ia sering bertanya mengapa terlahir sebagai insan penggubah dan pelantun nada dengan tuntutan jiwa harus sering berkelana, bukan seperti saudara-saudara kandungnya yang “hidup normal” sebagaimana umumnya orang-orang di zamannya. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Meski aliran musik yang diusungnya beraneka ragam dan tak seluruhnya bernuansa etnik Batak dan bahkan banyak yang mengadopsi aliran musik Barat macam waltz, bossa, folk, jazz, rumba, tembang-tembang gubahannya begitu subtil dan melodius. Lirik-liriknya pun tak murahan karena menggunakan kosa kata Batak klasik bercitarasa tinggi, kaya metafora, dan karena cukup baik menguasai filosofi dan nilai-nilai anutan masyarakat Batak, mampu menyisipkan nasehat dan harapan tanpa terkesan didaktis. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Ia begitu romantik tapi tak lalu terjebak di kubangan chauvinis, juga seseorang yang melankolis namun menghindari kecengengan bila jiwa dicambuki cinta. Ia melantunkan kegetiran hidup dengan tak meratap-ratap yang akhirnya malah memercikkan rasa muak, sebagaimana kecenderungan lagu-lagu pop Batak belakangan. Ia gamblang meluapkan luka hati akibat cinta yang dilarang namun tak jadi terjebak dalam sikap sarkastis. </span></div><div align="center" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">***</span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">NAHUM memang bukan cuma penyanyi dan penulis lagu, tetapi juga penyair yang kaya kata dengan balutan estetika yang penuh makna. Lelaki pengelana ini, kata beberapa saksi mata, dalam keseharian senang tampil parlente, senantiasa berpakaian resik dan modis dengan sisiran rambut yang terus mengikuti gaya yang tengah ditawarkan zaman. Anak kelima dari delapan bersaudara ini lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Februari 1908. Orangtuanya termasuk kalangan terpandang karena ayahnya, Kilian Situmorang, bekerja sebagai guru di sebuah sekolah berbahasa Melayu, di tengah mayoritas penduduk yang kala itu masih buta huruf. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Kilian sendiri berasal dari Desa Urat, Samosir, sebuah kampung di tepi Danau Toba dan jamak diketahui sebagai kampungnya para keturunan Ompu Tuan Situmorang. (Situmorang Pande, Situmorang Nahor, Situmorang Suhutnihuta, Situmorang Siringoringo, Sitohang Uruk, Sitohang Tongatonga, Sitohang Toruan). Kilian merantau ke wilayah Tapanuli Selatan demi mengejar kemajuan yang kian menguak gerbang peradaban manusia Batak Toba yang begitu lama tertutup dengan <i>splendid-isolation</i>-nya. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Sebagaimana harapannya pada anak-anaknya yang lain, Kilian pun menginginkan Nahum menjadi pegawai pemerintah kolonial. Harapannya itu tak tercapai meski Nahum sangat memenuhi syarat. Ia lebih senang menjadi manusia bebas tanpa terikat, bahkan di kala usianya masih remaja pun sudah berlayar ke Pulau Jawa, suatu hal yang tak terbayangkan bagi umumnya manusia Batak masa itu. Bukan karena kemampuan orangtuanya, melainkan karena dibawa satu pendeta yang bertugas di Sipirok dan kemudian kembali ke Depok, Jawa Barat, setamatnya dari HIS, Tarutung. Di Jakarta ia sekolah di <i>Kweekschool</i> Gunung Sahari dan kemudian meneruskan pendidikan ke Lembang, Bandung, lulus tahun 1928. Selain sekolah umum, ia memperdalam seni musik, terutama saat bersekolah di Lembang. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Ia turut bergabung dengan kalangan pemuda berpendidikan tinggi yang masa itu diterpa kegelisahan yang hebat untuk melepaskan bangsa dari cengkeraman kuasa kolonial. Mereka kerap berkumpul di bilangan Kramat Raya dan pada saat itulah ia berkenalan dan kemudian menjadi pesaing Wage Rudolf Supratman ketika mengikuti lomba penulisan lagu kebangsaan. Supratman memenangi lomba tersebut dengan lagu ciptaannya Indonesia Raya, Nahum diganjar juara dua. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Sayang sekali, lagu yang diperlombakan Nahum itu tak terdokumentasikan dan hingga kini belum ditemukan. Kabarnya, saat itu ia amat kecewa karena merasa lagu ciptaannyalah yang paling layak menang sebab selain unsur orisinalitas, durasinya pun lebih pendek ketimbang Indonesia Raya. (Unsur orisinalitas lagu Indonesia Raya sempat dipersoalkan, namun kemudian menguap begitu saja karena dianggap sensitif). Lelaki muda yang tengah digelontori idealisme dan cita-cita menjadi seniman musik yang mendunia ini pun memilih pulang ke Sumatera Utara, persisnya ke wilayah Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga. Di kota pantai barat Sumatera itulah ia jalani pekerjaan guru di sebuah sekolah partikelir H.I.S <i>Bataksche Studiefonds</i>, 1929-1932. </span></div><div align="center" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">***</span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">TAHUN 1932 itu pula ia hengkang ke Tarutung karena memenuhi ajakan abang kandungnya, Sopar Situmorang (juga berprofesi pendidik), untuk mendirikan sekolah partikelir bernama <i>Instituut Voor Westers Lager Onderwijs</i>. Pemerintah Hindia Belanda coba menghalangi karena saat itu ada peraturan melarang pembukaan sekolah bila dikelola partikelir. Nyatanya Nahum dan Sopar tetap bertahan dan mengajarkan pengetahun umum macam sejarah dunia, geografi, aljabar, selain musik, kepada murid-murid mereka. Sekolah swasta ini bertahan hingga 1942 karena tentara Dai Nippon kemudian mengambilalih kekuasaan Hindia Belanda, lalu menutupnya. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Sebelum sekolah tersebut ditutup Jepang, ia sudah wara-wiri ke Medan untuk menyalurkan bakat sekaligus mengaktualisasikan dirinya yang acap gelisah. Antara lain, bersama Raja Buntal, putra Sisingamangaraja XII, ia dirikan orkes musik ‘Sumatera Keroncong Concours’ dan pada tahun 1936 memenangkan lomba cipta lagu bernuansa keroncong di Medan. Hingga Hindia Belanda dan Jepang hengkang, ia tak pernah mau jadi pegawai mereka. Nahum memang nasionalis tulen dan karenanya memilih bergiat di ranah partikelir ketimbang mengabdi pada penjajah, selain pada dasarnya (mungkin karena seniman) tak menghendaki segala bentuk aturan yang mengekang kebebasannya berekspresi. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Tapi kala itu, mengandalkan kesenimanan belaka untuk menopang kebutuhan hidup taklah memadai, apalagi Nahum senang bergaul dan nongkrong di kedai-kedai tuak hingga larut malam. Tanpa diminta akan ia petik gitarnya dan bernyanyi hingga puas dan dari situlah bermunculan lagu-lagu karangannya. Dan ia bagaikan magnet, kedai-kedai tuak akan dipenuhi pengunjung yang bukan hanya etnis Batak. Orang-orang seperti tersihir mendengar alunan suaranya. Ia memiliki satu keistimewaan karena bisa menggubah lagu secara spontan di tengah keramaian dan tanpa dicatat. (Inilah salah satu penyebab mengapa lagu-lagunya hanya bisa dikumpulkan 120, sementara dugaan karibnya seperti alm. Jan Sinambela, jumlahnya mendekati 200 lagu).</span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Jenuh berkelana dari satu kedai ke kedai tuak lainnya, dalam kurun waktu 1942-1945, ia coba berwirausaha dengan membuka restoran masakan Jepang bernama Sendehan Hondohan, seraya merangkap penyanyi untuk menghibur tamu-tamu yang datang untuk bersantap. Sepeninggal Jepang karena kemerdekaan RI, restoran yang dikelolanya bangkrut. Ia kemudian berkelana dari satu kota ke kota lain sebagai pedagang permata sembari mencipta lagu-lagu bertema perjuangan dan pop Batak. Masa-masa itu pula ia kembali memasuki dunia manusia Batak dengan berbagai puak yang menghuni Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi, dan Kabanjahe.</span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Tahun 1949, Nahum kembali menetap di Medan untuk menggeluti usaha broker jual-beli mobil dan tetap bernyanyi serta mencipta lagu, juga kembali melakoni kesenangannya bernyanyi di kedai-kedai tuak. Sesekali ia tampil mengisi acara musik di RRI bersama kelompok band yang ia bentuk (Nahum bisa memainkan piano, biola, bas betot, terompet, perkusi, selain gitar). Periode 1950-1960, menurut kawan-kawan dan kerabatnya, adalah masa-masa Nahum paling produktif mencipta lagu dan tampil total sebagai seniman penghibur. Tahun 1960, misalnya, ia dan rombongan musiknya tur ke Jakarta. Setahun lebih mereka bernyanyi, mulai dari istana presiden, mengisi acara-acara instansi pemerintah, diundang kedubes-kedubes asing, live di RRI, hingga muncul di kalangan komunitas Batak. Pada saat tur ini pula ia manfaatkan untuk merekam lagu-lagu ciptaannya dalam bentuk piringan hitam di perusahaan milik negara, Lokananta.</span></div><div align="center" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">***</span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">SAMPAI usianya berujung, ia tetap melajang. Kerap disebut-sebut, ia didera patah hati yang amat parah dan tak terpulihkan pada seorang perempuan bermarga Tobing, yang kabarnya berasal dari kalangan terpandang. Orangtua perempuan itu tak merestui Nahum yang “cuma” seniman menikahi anak gadis mereka. Cinta Nahum rupanya bukan jenis cinta sembarangan yang mudah digantikan wanita lain. Ternyata, berpisah dengan kekasihnya, benar-benar membuat Nahum bagaikan layang-layang yang putus tali di angkasa; terbang ke sana ke mari tanpa kendali. Ia tetap meratapi kepergian kekasihnya yang sudah menikah dengan pria lain. Sejumlah lagu kepedihan dan dahsyatnya terjangan cinta, berhamburan dari jiwanya yang merana. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Demikian pun Nahum tak hanya menulis sekaligus mendendangkan lagu-lagu bertema cinta. Dari 120 lagu ciptaannya yang mampu diingat para pewaris karyanya, mengangkat beragam tema: kecintaan pada alam, kerinduan pada kampung halaman, nasehat, filosofi, sejarah marga, dan sisi-sisi kehidupan manusia Batak yang unik dan khas. Dan, kendati pada tahun 30-an isu dan pengaturan atas hak cipta suatu karya lagu/musik belum dikenal di Indonesia, Nahum sudah menunjukkan itikad baik ketika mengakui lagu Serenade Toscelli yang ia ubah liriknya ke dalam Bahasa Batak menjadi <i>Ro ho Saonari</i>, sebagai lagu ciptaan komponis Italia. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Nahum pun terkenal memiliki daya imajinasi serta empati yang luarbiasa. Tanpa pernah mengalami atau menjadi seseorang seperti yang ia senandungkan dalam berbagai lagu ciptaannya, ia bisa menulis lagu yang seolah-olah dirinya sendiri pernah atau tengah mengalaminya. Salah stau contoh adalah lagu <i>Anakhonhi do Hamoraon di Au</i></span> (Anakkulah kekayaanku yang Terutama). Lagu bernada riang itu seolah suara seorang ibu yang siap berlelah-lelah demi nafkah dan pendidikan anaknya hingga tak mempedulikan kebutuhan dirinya. Lagu tersebut akhirnya telah dijadikan semacam hymne oleh kaum ibu Batak, yang rela mati-matian berjuang demi anak. Ketika menulis lagu itu Nahum layaknya seorang ibu. </div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Kemampuannya berempati itu, bagi saya, masih tetap tanda tanya, karena ia lahir dan besar di lingkungan keluarga yang relatif mapan karena ayahnya seorang amtenar yang tak akrab dengan kesusahan sebagaimana dirasakan umumnya orang-orang yang masa itu, sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari pun terbilang sulit. Ia pun tak pernah berumahtangga (apalagi memiliki anak) hingga mestinya tak begitu familiar dengan keluh-kesah khas orangtua Batak yang harus <i>marhoi-hoi</i> (susah-payah) memenuhi keperluan anak. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Juga ketika ia menulis lagu <i>Modom ma Damang Unsok</i>, laksana suara lirih seorang ibu yang sedih karena ditinggal pergi suami namun tetap meluapkan cintanya pada anak lelakinya yang masih kecil hingga seekor nyamuk pun takkan ia perkenankan menggigit tubuh si anak. Ia pun menulis lagu <i>Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda</i> yang menggambarkan susahnya hati karena jatuh cinta lagi pada perempuan yang datang belakangan sementara ia sudah terikat perkawinan, seolah-olah pernah mengalaminya. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Kesimpulan saya, selain memiliki daya imajinasi yang tinggi, Nahum memang punya empati yang amat dalam atas diri dan kemelut orang lain. Dalam lagu <i>Beha Pandundung Bulung</i>, misalnya, ia begitu imajinatif dan estetis mengungkapkan perasaan rindu pada seseorang yang dikasihi, entah siapa. Simak saja liriknya: <i>Beha pandundung bulung da inang, da songonon dumaol-daol/Beha pasombu lungun da inang, da songon on padao-dao/Hansit jala ngotngot do namarsirang, arian nang bodari sai tangis inang/Beha roham di au haholongan, pasombuonmu au ito lungun-lungunan</i>. Ia lukiskan perasaan rindu itu begitu sublim, indah, namun tetap menyisipkan nada-nada kesedihan. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Mengentak pula lagunya (yang dugaan saya dibuat untuk dirinya sendiri) berjudul <i>Nahinali Bangkudu</i>. Lirik lagu itu tak saja menggambarkan ironi, pun tragedi bagi sang lelaki yang akan mati dengan status lajang. Dengan pengunaan metafora yang mencekam, Nahum meratapi pria itu (dirinya sendiri?) begitu tajam dan menusuk kalbu: <i>Atik parsombaonan dapot dope da pinele, behama ho doli songon buruk-burukni rere</i>. Ironis sekaligus tragis. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Dan Nahum tak saja pandai menulis lagu yang iramanya berorientasi ke musik Barat, pun piawai mengayun sanubari lewat komposisi-komposisi berciri etnik dengan unsur <i>andung</i> (ratap) yang amat pekat. Perhatikanlah lagu <i>Huandung ma Damang, Bulu Sihabuluan, Assideng-assidoli, Manuk ni Silangge</i>, dan yang lain, begitu pekat unsur <i>uning-uningan</i>-nya. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Akhirnya kesan kita memang, dari 120 lagu ciptaannya yang mampu dikumpulkan para pewarisnya, tak ubahnya kumpulan 120 kisah tentang manusia Batak, alam Tano Batak, berikut romantika kehidupan. Ia tak hanya piawai menggambarkan suasana hati namun mampu merekam aspek sosio-antropologis masyarakat (Batak) yang pernah disinggahinya dengan menawan. Lagu <i>Ketabo-ketabo</i>, misalnya, menceritakan suasana riang kaum muda Angkola-Sipirok saat musim salak di Sidempuan, sementara <i>Lissoi-lissoi</i> yang kesohor itu merekam suasana di lapo tuak dan kita seakan hadir di sana. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Demikian halnya tembang <i>Rura Silindung</i> dan <i>Dijou Au Mulak tu Rura Silingdung</i>, begitu kental melukiskan lanskap daerah orang Tarutung itu, hingga saya sendiri, misalnya, selalu ingin kembali bersua dengan kota kecil yang dibelah Sungai Aeksigeaon dan hamparan petak-petak sawah dengan padi yang menguning itu bila mendengar kedua lagu tersebut. Nahum pun melampiaskan kekagumannya pada Danau Toba melalui <i>O Tao Toba</i>. Mendengar lagu ini, kita seperti berdiri di ketinggian Huta Ginjang-Humbang, atau Tongging, atau Menara Panatapan Tele, menyaksikan pesona danau biru nan luas itu. Kadang memang ia hiperbolik, contohnya dalam lagu <i>Pulo Samosir</i>, disebutnya pulau buatan itu memiliki tanah yang subur dan makmur sementara kenyataannya tak demikian. </span></div><div align="center" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">***</span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">SAYA termasuk beruntung karena semasih bocah, 1969, beberapa bulan sebelum kematiannya, menyaksikannya bernyanyi di Pangururan bersama VG Solu Bolon. Saya belum tahu betul siapa Nahum Situmorang dan menurut saya saat itu show mereka begitu monoton dan kurang menggigit karena tanpa disertai instrumen band. Ia tampil parlente dengan kemeja dan celana warna putih, walau terlihat sudah tua. Rupanya ia sudah digerogoti penyakit (kalau tak salah lever) namun tetap memaksakan diri bernyanyi ke beberapa kota kecil di tepi Danau Toba hingga kemudian meninggal dunia di usia 62 tahun. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Lewat karya-karyanya, seniman-seniman Batak telah ia antarkan melanglang ke manca negara, macam Gordon Tobing, Trio The Kings, Amores, Trio Lasidos, dan yang lain. Lewat lagu-lagu gubahannya pula banyak orang telah dan masih terus diberinya nafkah dan keuntungan. Sejak remaja telah ia kontribusikan bakat dan mendedikasikan dirinya untuk negara dan Bangso Batak. Lebih dari patut sebenarnya bila mereka yang pernah berkuasa di seantero wilayah Tano Batak memberi penghargaan yang layak bagi dirinya, katakanlah menyediakan sebuah kubur di Samosir yang bisa dijadikan monumen untuk mengenang dirinya. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Kini sisa jasad Nahum masih tertimbun di komplek pekuburan Jalan Gajah Mada, Medan. Keinginannya dikembalikan ke tanah leluhurnya melalui lagu <i>Pulo Samosir</i>, masih tetap sebatas impian. Ia tinggalkan bumi ini pada 20 Oktober 1969 setelah sakit-sakitan tiga tahunan dan bolak-balik dirawat di RS Pirngadi. Piagam Tanda Penghormatan dari Presiden SBY diganjar untuknya pada 10 Agustus 2006, melengkapi Piagam Anugerah Seni yang diberikan Menteri P&K, Mashuri, 17 Agustus 1969. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Para pewaris karya ciptanya yang sudah ditetapkan hakim PN Medan, 1969, sudah lama berkeinginan memindahkan jasadnya dan membuat museum kecil di Desa Urat, Samosir, sebagaimana keinginan Nahum. Diharapkan, para penggemarnya bisa berziarah seraya mendengar rekaman suaranya dan menyaksikan goresan lagu-lagu gubahannya. Rencana tersebut tak lanjut disebabkan faktor biaya dan (sungguh disesalkan) di antara para pewaris yang sah itu, yakni keturunan abang dan adik Nahum, terjadi perpecahan lantaran persoalan pengumpulan royalti. </span></div><div align="center" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">*** </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">PERTENGAHAN 2007, sekelompok pewaris yang diketuai Tagor Situmorang (salah seorang keponakan kandung Nahum, Ketua Yayasan Pewaris Nahum Situmorang) meminta Monang Sianipar, pengusaha kargo dan ayah musisi Viky Sianipar, sebagai ketua peringatan 100 Tahun Nahum Situmorang berupa pagelaran konser musik besar-besaran di Jakarta dan Medan, Februari 2008. Kemudian mereka minta pula saya, entah pertimbangan apa, jadi ketua pemindahan kerangka dan pembangunan Museum Nahum Situmorang di Desa Urat. Saya dan Monang tentu antusias menerima tawaran tersebut, namun setelah belakangan tahu di antara para pewaris ternyata ada perselisihan, saya sarankan agar mereka terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi karena proyek semacam itu bukan sesuatu yang bisa disembarangkan dalam hukum adat Batak. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Di tengah proses penyiapan proposal, tiba-tiba saya dengar ada seorang <i>dongan sabutuha</i> (teman satu marga) yang belum lama berprofesi pengacara, mendirikan satu yayasan pengelola karya cipta Nahum Situmorang. Dirangkulnya kubu yang berselisih dengan kelompok Tagor (juga keponakan kandung Nahum) dan sejak itulah beruntun “kejadian hukum” yang hingga kini belum terselesaikan dan akhirnya menyeret-nyeret pedangdut Inul Daratista karena tuduhan tak membayar royalti yang diputar di karaoke-karaoke Inul Vista. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Saya pun lantas menghentikan langkah, semata-mata karena merasa tak elok bila dianggap turut meributkan royalti atas karya cipta seseorang yang sudah wafat dan sangat berjasa bagi Bangso Batak, selain seseorang yang amat saya kagumi. Konser batal, pemindahan kerangka dan pembangunan museum Nahum terbengkalai. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Tentu saja saya kecewa, seraya menyesali minimnya apresiasi dari para penguasa di wilayah eks Keresidenan Tapanuli terhadap Nahum, yang tak juga menunjukkan gelagat akan melakukan sesuatu untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai salah satu tokoh pencerahan <i>Bangso Batak</i>. Alangkah miskinnya ternyata penghormatan para bupati, khususnya Pemkab Tapanuli Utara, Tobasa, Samosir, terhadap seniman <i>cum</i> pendidik yang legendaris itu. Tetapi yang lebih saya sesali adalah kisruh akibat munculnya klaim-klaim sebagai pewaris yang absah atas karya cipta Nahum hingga keinginan mewujudkan impiannya (yang sebetulnya sederhana) agar dikubur di bumi Samosir, semakin tak pasti. </span></div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><br />
</div><div align="justify" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Saya tak tahu bagaimana perasaan mereka yang berseteru sengit hingga jadi santapan infoteinmen menyangkut klaim hak cipta karya Nahum itu manakala mendengar penggalan lirik lagu <i>Pulo Samosir</i> ini: <i>Molo marujungma muse ngolukku sai ingotma/Anggo bangkeku disi tanomonmu/Disi udeanku, sarihonma</i>. (Bila hidupku sudah berakhir, ingatlah/Makamkanlah jasadku di sana/Sediakanlah kuburanku di sana). Demikianpun, saya tetap berharap gagasan memindahkan jasad <a href="http://tokohbatak.wordpress.com/2009/09/02/nahum-situmorang/">Sang Guru</a> ke bumi Samosir berikut pembangunan museum kecil untuk menghormatinya akan terwujud suatu saat, entah siapapun pelaksananya. *** </span></div><br />
<div style="text-align: left;"><i><span style="font-size: small;">Oleh: Suhunan Situmorang </span></i><br />
<br />
<i><span style="font-size: small;">* </span></i><span style="font-size: small;">Susah kami mencari fotonya, kalau ada yang memiliki tolong dikirim ke Blog ini atau ke </span><br />
<span style="font-size: small;"> redaktur kami,</span><i><span style="font-size: small;"> daomathias@gmail.com </span></i></div></td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br />
</td><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br />
</td></tr>
</tbody></table>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-79961601557921683182010-08-20T21:40:00.006+07:002010-08-20T22:24:11.634+07:00Amir Syarifuddin Harahap<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQZOHU4iA0k1ojO6Zm9f1SfiIz5MNSrXjLOACeOyyXwXupAlSg&t=1&usg=__uEpIWEijZFYjaiEOyTXxZRHbguk=" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQZOHU4iA0k1ojO6Zm9f1SfiIz5MNSrXjLOACeOyyXwXupAlSg&t=1&usg=__uEpIWEijZFYjaiEOyTXxZRHbguk=" width="315" /></a></div><div style="color: #eeeeee;"><br />
</div><div style="color: #eeeeee;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Arial; font-size: 18px;"><b>Amir Syarifuddin Harahap, Perdana Menteri RI yang Dilupakan</b></span></div><br />
<br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b><i>KabarIndonesia -</i> Sejarah kerap mencatat bahwa revolusi telah memakan anaknya sendiri. Amir Syarifuddin Harahap (1907-</b><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1948" title="1948"><b>1948</b></a><b>), mantan Perdana Menteri ke-2 Indonesia ini menjadi korban revolusi yang turut dia lahirkan. Amir meninggal dengan tragis pada 19 Desember 1948, saat dieksekusi oleh regu tembak bersama sembilan orang tanpa nama.</b></span><br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b> </b> </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Tak banyak literatur dan informasi tentang putra Mandailing ini. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu. Jarang diangkat media. Informasi tentang pejuang ini selalu diberangus. Satu fakta, tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem yang diluncurkan di Gedung STT Jakarta, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Buku biografi diberi judul “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Namun, tidak berapa lama buku itu di-<i>sweeping, </i>dilarang beredar, di masa pemerintahan Soeharto karena dianggap merusak sejarah Indonesia. </span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Buku itu dianggap sesat. Padahal, dialah salah seorang bapak pendiri bangsa dalam memperjuangkan eksistensi NKRI. Perjuangannya tidak pernah dihargai negara. Pusara, gundukan makamnya, tertulis nisan tanpa nama, di Desa Ngaliyan, Karanganyar, Jawa Tengah. Makam untuk mantan perdana menteri ini tidak seperti sejawatnya, Soekarno, Hatta dan Syharier menerima penghargaan berupa bintang jasa. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Digelari sebagai pahlawan, dan dikubur di makam yang terhormat. Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya, STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin, Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang, Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Seminar dimoderatori Fadjroel Rahman. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Pengkotbah</b> </span><br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Amir belia lahir di Tapanuli Selatan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/27_April" title="27 April">27 April</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1907" title="1907">1907</a>. Ayahnya keturunan kepala adat dari <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Pasar_Matanggor&action=edit&redlink=1" title="Pasar Matanggor (belum dibuat)">Pasar Matanggor</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Padang_Lawas&action=edit&redlink=1" title="Padang Lawas (belum dibuat)">Padang Lawas</a>, bernama Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949), mantan jaksa di Medan. Sementara ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak-Melayu. </span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Keluarga ibunya telah berbaur dengan masyarakat Melayu di <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Deli&action=edit&redlink=1" title="Deli (belum dibuat)">Deli</a>. Maka, kalau itu ada istilah “Kampak bukan sembarang kampak. Kampak pembela kayu. Batak bukan sembarang Batak. Batak masuk Melayu”. Zaman itu, besar-besaran orang Batak eksodus ke Deli, sebagai pusat perkebunan. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/ELS" title="ELS">ELS</a> setara Sekolah Dasar di Medan sejak tahun 1914 hingga tahun 1921. Tahun 1926 atas undangan sepupunya, <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Todung_Sutan_Gunung_Mulia&action=edit&redlink=1" title="Todung Sutan Gunung Mulia (belum dibuat)">T.S.G. Mulia</a> pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Volksraad" title="Volksraad">Volksraad</a> (dewan) belajar di kota <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Leiden" title="Leiden">Leiden</a>, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah disana. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gymnasium&action=edit&redlink=1" title="Gymnasium (belum dibuat)">Gymnasium</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Haarlem" title="Haarlem">Haarlem</a>. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, di kemudian hari Kelompok Kristen menjadi embrio <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Mahasiswa_Kristen_Indonesia" title="Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia">Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia</a> (GMKI). </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Di Belanda, dua sepupu itu menumpang di rumah seorang guru penganut <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kristen" title="Kristen">Kristen</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Calvinis" title="Calvinis">Calvinis</a> bernama Dirk Smink. Kristen Calvinisme adalah aliran gereja yang ketat soal doktrin, dari spirit bapak Gereja, John Calvin (1509-1564). Sebenarnya Amir Syarifuddin seorang muslim dan keluarga Muslim. Berpindah agama Kristen saat di Belanda. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh. </span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Tiap hari Minggu turut berkotbah. Kotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Paparannya tentang Injil sangat mendalam. Dia adalah penganut agama Kristen yang taat. Terbukti, detik-detik terkhir hidupnya, dia menggengam Alkitab saat ditembak. <b> </b> </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Pejuang Pembebasan</b> </span><br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Sebuah dokumen <i>Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service</i> (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Van_Mook" title="Van
Mook">Van Mook</a>, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/9_Juni" title="9 Juni">9 Juni</a> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/1947" title="1947">1947</a> menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".</span><br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"> </span><br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Pada September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar <a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Indonesisch_Clubgebouw&action=edit&redlink=1" title="Indonesisch Clubgebouw (belum dibuat)">Indonesisch Clubgebouw</a>, Kramat nomor 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Tahun 1931, Amir mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Lalu, mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Berjuang untuk pembebasan dari belenggu penjajah, benih-benih perjuang itu pun makin mekar saat Amir bertemu para tokoh pejuang seperti Mr. <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Yamin" title="Muhammad Yamin">Muhammad Yamin</a>, Muhammad Husni Thamrin. Dari sana Amir aktif diskusi Politik Indonesia bersama para tokoh kala itu. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Kejadian itu membongkar jaringan, organisasi anti fasisme Jepang yang dimotori Amir. Kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat, teman-teman satu pergerakan.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Saat menjabat Menteri Pertahanan, Amir tidak sependapat terhadap kebijakan Hatta karena pengurangan jumlah tentara, dari 400 ribu menjadi 60 ribu tentara. Menurutnya, layaknya tentara, satu banding tiga, satu tentara untuk menjaga tiga orang penduduk. Lalu, di Kabinet Sjahrier pada tanggal 12 Maret 1946, Amir Sjarifuddin diangkat menjadi Menteri Pertahanan dari Partai Sosialis, dikemudian hari berafiliasi dengan Komunis. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Tan Malaka dan Kelompok Persatuan Perjuangan menculik Perdana Menteri Sjahrier. Dari Amir menjadi Perdana Menteri. Kala itu, perdana menteri bisa jatuh kapan saja jika tidak didukung parlemen dan partai. Sesudah Amir mangkat, tahun 1950-an, zaman demokrasi parlementer, tujuh kali pengantian perdana menteri terjadi.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Dalam <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Persetujuan_Renville" title="Persetujuan Renville">Persetujuan Renville</a>, Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia, dianggap gagal. Kabinet Amir Sjarifuddin bubar. Amir mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan sama sekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Masyumi" title="Masyumi">Masyumi</a> dan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalis" title="Nasionalis">Nasionalis</a>. Kageriaan itu. Peristiwa pemberontakan Madium tahun 1948 yang memilukan, disebut dilakukan PKI atas restu Amir Syarifuddin, tidak pernah terbukti.</span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Sepeninggalnya; keluarganya mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya. Anak-anaknya mendapat diskriminasi. Untuk makan saja waktu itu keluarga ini harus terlunta-luntah. Salah satu anaknya, Helena, saat ini bekerja di Sekolah Johnny Andrean, mengatakan, masa sepeninggalan sang ayah, hidup mereka terlantar. </span><br />
<br />
<span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;">Kini, atas bantuan lembaga swadaya masyarakat, Omnes Unum Sint Institut, dan Komisi Hak Asazi Manusia membantu perizinan pembangunan makam tanpa nama itu, kini sudah diperbaiki. Inilah sejarah. Indikasi keterlibatanya pada pemberontakan PKI di Madiun masih samar. Amir dieksekusi tanpa pernah diadili. Divonis tanpa terbukti salahnya di mana. Aswi Warman Adam pengurus Masyarakta Sejarahwan Indonesia menulis, sepanjang hidupnya, dia hidup dari kamp ke kamp. Perjuanganya tidak pernah dihitung. Narsis. (*)</span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b><br />
</b></span><span style="color: #818181; font-family: Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: small;"><b>Oleh : Hotman Jonathan Lumbangaol | 15-Des-2008,</b></span><span style="font-size: small;"><b><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif;"><b> </b></span></b></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-family: Bookman Old Style,Georgia,Times New Roman,Times,serif; font-size: 12px;"><span style="font-size: small;"><b> pemerhati dan jurnalis budaya Batak.</b></span> <b> </b> </span></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-9786528912880197042010-08-20T19:58:00.001+07:002010-08-20T20:02:52.019+07:00Dr. Ingwer Ludwig Nommensen<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2oR2Io938IN5GqTxqTtTtrm8mU7i69QomOt1pNyPZzh-nIjIrT1Q4XHNlSxQx2_7BWwLxauxcpH6VTjtWQRMbsg8kby2W1fJjATVLg7F0j725-uFUq1U7HJxpFBM90qlFs5s-4yJlz7Rm/s1600/pict-01.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2oR2Io938IN5GqTxqTtTtrm8mU7i69QomOt1pNyPZzh-nIjIrT1Q4XHNlSxQx2_7BWwLxauxcpH6VTjtWQRMbsg8kby2W1fJjATVLg7F0j725-uFUq1U7HJxpFBM90qlFs5s-4yJlz7Rm/s320/pict-01.jpg" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;">Sosok anak manusia yang memiliki keberanian, kesungguhan, ketulusan dan jiwa petualangan, ada pada diri Ingwer Ludwig Nommensen. Di besarkan di bawah budaya barat, Nommensen berani menetapkan pilihan untuk mendatangi dunia lain yang sama sekali berbeda, jauh dan penuh misteri — Tanah Batak –</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div></div><div style="text-align: justify;">Berbekal sebagai seorang theolog muda, menerima tantangan untuk mendedikasikan ilmu, iman dan pengabdiannya bagi Bangso Batak, yang hanya diketahui dari buku literatur yang terbatas dan dengar-dengaran dari sumber-sumber yang belum tentu teruji kemampuannya dalam menggambarkan sifat, sikap dan alam Batak, nun jauh di timur.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div></div><div style="text-align: justify;">Tentu melihat ini kita diminta untuk memutar roda waktu ke tahun<b> 1861</b>, dengan segala keterbatasannya, tanpa kecanggihan transportasi dan alat komunikasi. Terbukti, untuk tiba di tempat yang akan ditujunya menghabiskan waktu <b>142 hari</b>, yang saat ini dapat kita tempuh hanya 11 jam kurang lebih. Perbedaan budaya, bahasa dan agama tidak menyurutkan niatnya untuk memulai “pengabdian” di tengah perlawanan dan ancaman Bangsa Batak yang belum terbiasa menerima kehadiran “orang aneh”, yang berlainan bahasa, pola hidup, warna kulit dan mata serta rambutnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Kesungguhan dan keteguhan Nommensen, terbukti mampu memenangkan penolakan besar Bangsa Batak yang berbuah pada dimulainya era baru bagi kehidupan sosial dan spritual, hingga berimplikasi luas pada tatanan mayoritas Batak. Pendekatan sosial religius, tidak terpungkiri mewarnai kehidupan sebagian besar di antara kita saat ini.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Nommensen, sang Peretas</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;">Tidak sekedar untuk dikenang, nostalgia masa lalu, tentu ada pelajaran besar dari penggalan perjalanan hidup Nommensen. Untuk kita pelajari dan ketahui.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1834, tanggal 6 Februari</b> Ingwer Ludwig Nommensen lahir di Nortdstrand, pulau kecil di panatai perbatasan Denmark dan Jerman. Dia anak pertama dan lelaki satu-satunya dari empat orang bersaudara. Ayahnya Peter dan ibunya Anna adalah keluarga yang sangat miskin di desanya. Sejak kecil, dia sudah tertarik dengan cerita gurunya Callisen tentang misionar yang berjuang untuk membebaskan keterbelakangan, perbudakan pada anak-anak miskin.<br />
<b><br />
</b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1846 pada umur 12 tahun</b> kedua kakinya sakit parah karena kecelakaan kereta kuda pulang dari sekolah. Selama setahun lebih tidak dapat berjalan, kakinya hampir diamputasi. Dia berjanji kepada Tuhan bahwa akan menjadi misionar apabila kedua kakinya sembuh kembali. Dia akan pergi jauh untuk membebaskan anak-anak miskin yang budak karena hutang orang tuanya, dia akan memberitakan Firman Tuhan kepada pelbegu yang sangat terbelakang sebagaimana sering diceritakan gurunya Callisen yang sangat dikaguminya.<br />
<b><br />
</b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1847</b> Kedua kakinya sembuh secara ajaib, dia dapat berjalan seperti sediakala. Dia kembali ke sekolah pada musin winter (musim dingin) karena pada musin summer dia akan menjadi gembala domba untuk menerima upahan karena orangtuanya sangat miskin.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1848, tanggal 2 Mei</b> Ayahnya Peter Nommensen meninggal dunia. Ingwer Ludwig Nommensen sebelumnya bermimpi akan kehilangan ayahnya, maka ia tidak terkejut ketika orang membawa ayahnya ke rumah yang meninggal di tempat kerjanya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1849</b> Pada umur 15 tahun (suatu pengecualian), dia mendapat sidi. Biasanya, orang akan diijinkan mendapat sidi pada umur 17 tahun. Namun, karena Ingwer Ludwig Nommensen sudah tidak obahnya seperti ayah dari dari segi tanggung jawab kepada keluarga maka diberi pengecualian kepadanya. Dia mendapat sidi setelah setahun belajar Alkitab.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1854</b> Ibu Ingwer Ludwig Nommensen merestui anaknya, satu-satunya lelaki di antara empat orang bersaudara, menjadi seorang misionar.<br />
<b></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1857</b> Ingwer Ludwig Nommensen masuk sekolah pendeta di RMG Barmen setelah menunggu sekian lama. Tahun 1858, Januari Ibunya meninggal dunia di Nordstrand.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1859</b> 4 orang Misionar RMG Barmen serta 3 orang isteri misionar terbunuh di Borneo, berita itu semakin menggugah hati Ingwer Ludwig Nommensen untuk pergi ke daerah pelbegu.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1861, 7 Oktober</b> berdiri HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Praosorat Sipirok, sebagai permulaan Misi Kongsi Barmen di Tanah Batak. Hari itu terjadi kesepakatan 4 orang Misionar Belanda dan Jerman yaitu: H (Heine)K (Klammer)B (Betz) danP (Van Asselt) menjadi penginjil atas tanggung jawab Rheinische Missionsgeselshaft dari Barmen, Wupertal, Jerman, yang lazim diebut Kongsi Barmen.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1861, Oktober</b> Ingwer Ludwig Nommensen ditahbiskan sebagai pendeta dan langsung diberangkatkan oleh Missi Barmen menjadi misionar ke Tanah Batak, tetapi selama 2 bulan dia masih belajar Bahasa Batak dan Budaya Batak dari Dr. Van Der Tuuk di Belanda.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1861, Desember</b> Ingwer Ludwig Nommensen berangkat dari Amsterdam menuju Sumatera dengan kapal Pertinar. Pelayaran itu memakan waktu selama 142 hari.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1862, 14 Mei</b> Setelah mengalami banyak cobaan di lautan, Ingwer Ludwig Nommensen mendarat di Padang. Selanjutnya dia tinggal di Barus. (Kapal Pertinar kemudian tenggelam dalam lanjutan pelayaran kea rah timur di sekitar Laut Banda dekat Irian Barat).</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1862, November<br />
</b>Bersama beberapa orang Batak, mengadakan perjalanan ke pedalaman Sumatera melalui Barus dan Tukka. Dari Barus, Ingwer Ludwig Nommensen pergi ke Prausorat dan kemudian tinggal dengan Van Asselt di Sarulla.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1863, November</b> Ingwer Ludwig Nommensen pertama kali mengunjungi Lembah Silindung. Dia berdoa di Bukit Siatas Barita, di sekitar Salib Kasih yang sekarang. “Tuhan, hidup atau mati saya akan bersama bangsa ini untuk memberitakan FirmanMu dan KerajaanMu, Amin!”</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1864, Mei</b> Ingwer Ludwig Nommensen diijinkan memulai misinya ke Silindung, sebuah lembah yang indah dan banyak penduduknya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1864, Juli</b> Ingwer Ludwig Nommensen membangun rumahnya yang sangat sederhana di Saitnihuta setelah mengalami perjuangan yang sangat berat.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1864, 30 Juli<br />
</b>Ingwer Ludwig Nommensen menjumpai Raja Panggalamei ke Pintubosi, Lobupining. Raja Panggalamei beserta rombongannya 80 orang membunuh Pendeta Hendry Lyman dan Samuel Munson (missionar yang diutus oleh Zending Gereja Baptis dari Amerika) di sisangkak, Lobupining pada tahun 1834, bertepatan dengan tahun lahirnya Ingwer Ludwig Nommensen di Eropa.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1864 , 25 September<br />
</b>Ingwer Ludwig Nommensen mau dipersembahkan ke Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru. Ribuan orang datang. Ingwer Ludwig Nommensen akan dibunuh menjadi kurban persembahan. Ingwer Ludwig Nommensen tegar menghadapi tantangan, dia berdoa, angin puting beliung dan hujan deras membubarkan pesta besar tersebut. Ingwer Ludwig Nommensen selamat, sejak itu terbuka jalan akan Firman Tuhan di negeri yang sangat kejam dan buas. Ingwer Ludwig Nommensen pantas dijuluki “Apostel di Tanah Batak”</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1865, 27 Agustus<br />
</b>Pembaptisan pertama di Silindung terhadap empat pasang suami-istri beserta 5 orang anak-anaknya. Diantara keluarga yang dibaptis pertama adalah Si Jamalayu yang diberi nama Johannes dengan istrinya yang dibawa dari Sipirok sebagai pembantu Ingwer Ludwig Nommensen diberi nama Katharina.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1866, 16 Maret<br />
</b>Ingwer Ludwig Nommensen diberkati menjadi suami-isteri dengan tunangannya Karoline di Sibolga. Karoline datang dari Jerman beserta rombongan Pdt. Johansen yang dikirim Kongsi Barmen untuk membantu Ingwer Ludwig Nommensen di Silindung.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1871<br />
</b>Ingwer Ludwig Nommensen mengalami penyakit disentri yang sangat parah, dia pasrah untuk pergi menghadap Tuhannya tetapi dia tidak rela misinya berhenti begitu saja. Dia dibawa Johansen berobat ke Sidimpuan.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1864<br />
</b>Karoline melahirkan anak pertama diberi nama Benoni, namun beberapa hari kemudian meninggal dunia.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1872<br />
</b>Pargodungan Saitnihuta yang disebut Huta Dame pindah ke Pearaja. Setelah Gereja baru hampir selesai dibangun, putri pertama Ingwer Ludwig Nommensen yang bernama Anna meningal dunia. Keluarga Ingwer Ludwig Nommensen telah kehilangan dua anak pertama, sungguh suatu ujian berat bagi misionar dalam memulai misinya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1873<br />
</b>Sikola Mardalan-dalan (Sekolah dengan tempat tidak tetap) diciptakan Ingwer Ludwig Nommensen agar Orang Batak bisa secepatnya menjadi guru. Siswa mendatangi Ingwer Ludwig Nommensen di Pearaja, Johansen di Pansurnapitu dan Mohri di Sipoholon dimana para misionar tersebut bertugas. Atau, misionar mendatangi siswanya ditempat tertentu.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1875<br />
</b>Misionar Ingwer Ludwig Nommensen, bersama Johansen dan Simoneit bekunjung ke Toba. Tahun 1876Telah dibaptis lebih dari 7000 orang di Silindung.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1876<br />
</b>Ingwer Ludwig Nommensen selesai menterjemahkan Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Batak Toba.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1877</b> Ingwer Ludwig Nommensen dan Johansen mendirikan Sekolah Guru Zending di Pansurnapitu. Tempat berdirinya sekolah tersebut adalah tempat yang dulunya dikenal sebagai Pasombaonan (tempat angker), yang sekarang tempat berdirinya STM Pansurnapitu dan Gereja HKBP Pansurnapitu.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1877</b></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li>Raja Sisingamangaraja ke-XII mengancam akan membumihanguskan kegiatan missioner, ancaman ini tidak menjadi kenyataan.</li>
<li>Silindung masuk kolonisasi Belanda.</li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1880</b> Ingwer Ludwig Nommensen beserta istri dan anak-anaknya pergi ke Eropah. Mereka diantar oleh banyak orang sampai ke tengah hutan. Mereka berjalan kaki selama dua hari dari Silindung ke Sibolga, menjalani jalan setapak yang sangat sulit. Mereka menungu keberangkatan dari Sibolga ke Padang selama dua minggu.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1881<br />
</b>Menjelang Natal, Ingwer Ludwig Nommensen kembali ke Pearaja. Dia kembali sendirian, isterinya tinggal di Jerman karena masih perlu perawatan. Anak-anaknya juga tinggal di sana agar bisa sekolah dengan baik.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1881<br />
</b>Kongsi Barmen menetapkan Ingwer Ludwig Nommensen menjadi Ephorus pertama HKBP, dia digelari ‘Ompu i’<br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1887</b> Karoline isteri Ingwer Ludwig Nommensen, meninggal di Jerman, sebulan kemudian baru Ingwer Ludwig Nommensen mengetahuinya.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1890</b> Ingwer Ludwig Nommensen memulai misinya ke Toba, dia pindah ke Sigumpar.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1891 bulan Mei</b> Christian, anak ompu Ingwer Ludwig Nommensen, mati terbunuh di Pinang Sori oleh lima orang kuli China di areal perkebunan.<br />
<b></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1892</b> Bersama Pendeta Johansen yang juga sudah menduda pergi ke Jerman untuk berlibur, menjenguk anak-anaknya, dan mencari pasangan baru untuk masing-masing misionar yang telah menduda. Ingwer Ludwig Nommensen mendapatkan jodohnya anak Tuan Harder yang bernama Christine, Johansen mendapatkan jodohnya anak Tuan Heinrich yang bernama Dora. Mereka kembali ke Tanah Batak dengan masing-masing pasangan barunya. Tahun 1900 Permulaan Zending Batak. Tahun 1903 Permulaan misi Zending ke Medan</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1904</b> Fakultas Theologi Universitas Bonn, Jerman, menganugerahkan gelar Doktor Honouris-Causa di bidang Theologi kepada Ingwer Ludwig Nommensen. Dalam pengukuhan tersebut, Ratu Wilhelmina dari Belanda ikut diundang sebagai tamu.<br />
<b></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1905</b> Berkunjung ke Eropah bersama Tuan Reitze, dia mengunjungi Misi Zending di Belanda dan berkunjung kepada Ratu Wilhelmina.<br />
<b></b></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1909</b> Christine Harder, isteri Ingwer Ludwig Nomensen meninggal dunia, setelah melahirkan tiga orang anak. Dia dimakamkan di Sigumpar. Dua anak perempuannya tinggal di Jerman dan belum menikah sewaktu Ompu Ingwer Ludwig Nommensen meningal pada umur 84 Tahun.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1911</b></div><div style="text-align: justify;"></div><ul style="text-align: justify;"><li>Pesta jubileum 50 tahun HKBP. Pesta besar di onan Sitahuru dihadiri puluhan ribu orang, di tempat dimana 47 tahun sebelumnya Ingwer Ludwig Nommensen mau dibunuh dan dipersembahkan kepada Sombaon Siatas Barita.</li>
<li>Ratu Wilhelmina dari belanda menganugerahkan Bintang Jasa ‘Order Of Orange Nassau’ kepada DR. Ingwer Ludwig Nommensen, sebuah bintang jasa yang hanya diberikan kepada orang yang dianggap luar biasa jasanya di bidang kemanusiaan.</li>
</ul><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1912</b> Berlibur ke Eropah, kembali ke Tanah Batak bersama tuan Pilgram yang telah lama bertugas di Balige. Tahun 1916 Nathanael anak Ingwer Ludwig Nommensen, mati tertembak di arena Perang Dunia I di Perancis.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Tahun 1918, Tanggal 23 Mei</b> Pukul enam pagi Hari Kamis, Ompu Ingwer Ludwig Nommensen pergi menghadap Tuhannya di Sorga. Dia menutup mata untuk selama-lamanya setelah berdoa ‘Tuhan kedalam tanganMu kuserahkan rohku, Amin’.</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>Pada Jumat sore, 24 Mei 1918</b> Ompu Ingwer Ludwig Nommensen dikubur di Sigumpar. Puluhan ribu datang melayatnya untuk mengucapkan salam perpisahan. Ada orang berkata : Inilah kumpulan manusia yang paling banyak yang pernah terjadi di Tanah Batak.</div><div style="text-align: justify;"><br />
Ringkasan ini diambil dari buku:DR. I.L. Nommensen – Apostel di Tanah Batak oleh Patar M. Pasaribu</div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-8985768735616072112010-08-20T19:41:00.000+07:002010-08-20T19:41:26.729+07:00Sanusi Pane<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/imagecache/Tokoh_Thumbnail_Besar/sanusi%20pane.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/imagecache/Tokoh_Thumbnail_Besar/sanusi%20pane.jpg" /></a></div><br />
Sanusi Pane (1905-1968)<br />
<span style="font-size: large;"><b>Sastrawan Pujangga Baru</b></span><br />
<br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-karyanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).</span></div><div> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925. Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool.<br />
<br />
Setelah itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India, selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik. </span> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.” Kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada 1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai Pustaka. <br />
<br />
Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda (antipode) dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke jaman Indonesia purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Karya-karyanya yang terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927), Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928), Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929), Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932), naskah drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940).</span> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926).</span></div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB). Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama Sumatera. </span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Biodata</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /></span> <span style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Nama:<br />
</span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Sanusi Pane</span></span> <span style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Lahir:<br />
</span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Muara Sipongi, Tapanuli, Sumatera Utara, 14 November 1905</span></span> <span style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Meninggal:<br />
</span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jakarta, 2 Januari 1968</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /></span> <span style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Pendidikan:<br />
</span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">- HIS dan ELS Padang Sidempuan, Tanjungbalai, Sibolga,</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - MULO Padang dan Jakarta (1922),</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Kweekschool, Gubung Sahari, Jakarta (1925),</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Rechtshogeschool bagian Othonlogi</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /></span> <span style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Karier:<br />
</span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">- Guru,</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Redaktur majalah Timbul (1929-1930),</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Pemimpin surat kabar Kebangunan (1936-1941),</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Redaktur Balai Pustaka (1941)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /></span> <span style="color: red; font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; font-size: small;">Karya Tulis:<br />
</span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">- Pancaran Cinta (1926),</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Prosa Berirama (1926),</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Puspa Mega (1927)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Kumpulan Sajak (1927),</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Madah Kelana (1931)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Kertajaya (drama, 1932)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Manusia Baru (drama, 1940)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> - Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940)</span></span> </div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-79595619209054999782010-08-20T11:35:00.001+07:002010-08-20T11:39:29.816+07:00Srikandi Putri Lopian<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://gobatak.com/system/uploaded/news/monumen.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://gobatak.com/system/uploaded/news/monumen.jpg" /> </a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Inilah kutipan teks di Monumen Srikandi Putri Lopian:</span></div><br />
<div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"> <span style="font-size: small;"><i>Seorang gadis belia yang ikut berjuang dan berkorban yang melawan penjajah Belanda gugur dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 di Aek Sibulbulon Pearaja Dairi, dia adalah Putri Lopian. Ayahandanya Raja Sisingamangaraja XII saudaranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi juga gugur bersama pejuang lainnya dalam pertempuran tersebut. Lopian adalah anak ke-3 yang dilahirkan oleh Ibunda Boru Sagala, lahir di Pearaja Dairi desa SiOnomhudon. Yaitu ibu kota perjuangan Raja Sisingamangaraja XII setelah Nakkara dan Lintong. Disinilah Lopian dan menjadi dewasa dan tumbuh berjiwa pejuang sehari-hari bergaul dan para perjuang termasuk Teuku Nyak Bantal dan Teuku Muhammad Ben, para panggilma Aceh. </i></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada tahun 1907 pasukan Belanda mulai mendekati Peara Dairi karena Raja Sisingamangaraja XII bertekad mempertahankan Pearaja Dairi maka seluruh keluarga kaum wanita dan anak-anak harus menyingkir dari daerah itu tetapi Lopian yang pada waktu itu anak gadis berusia 17 tahun tidak mau ikut menyingkir karena dia berkeras hati tetap harus ikut berperang melawan penjajah Belanda.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><table border="1" cellpadding="4" cellspacing="0" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; margin-left: 0px; margin-right: 0px; text-align: left;"></table><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam pertempuran tanggal 17 Juni 1907 di Aek Sibulbulon Pearaja Oleh pasukanBelanda , jenajah Raja Sisingamangaraja XII, jenajzh Patuan Anggi melalu Tele ke Balige dan kemudian dikuburkan di Tarutung. Sedang jenazah Lopian Boru Sinambela ditinggalkan dan ditimbun dalam jurang bersama pangila dari Aceh. Dan ditinggallah Lopian di dalam hutan Pearaja Dairi.</span></span></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> </div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-26420779070809300042010-08-20T08:45:00.001+07:002010-08-20T10:00:07.182+07:00Kapten Bongsu Pasaribu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://dameambarita.files.wordpress.com/2008/07/16-7-08-monumen-perjuangan-kapten-bongsu-11.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="240" src="http://dameambarita.files.wordpress.com/2008/07/16-7-08-monumen-perjuangan-kapten-bongsu-11.jpg" width="320" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><table border="0" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody>
<tr> <td height="22"> <h3>Gugur Dipenggal Belanda</h3></td> </tr>
<tr> <td><div style="text-align: justify;"> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">SETIAP tanggal 3 Maret, warga Kecamatan Sorkam dan Kecamatan Barus, Kotamadya Sibolga selalu memperingati gugurnya pahlawan Kemerdekaan Nasional asal Sibolga, Kapten Bongsu Pasaribu. Bagi sebagian keluarga anak - cucu veteran ada yang menyempatkan diri mendatangi tempat makan Kapten Bongsu Pasaribu di makam Pahlawan Sibolga. Mereka umumnya menaburkan bunga bunga dan berdoa agar beliau diterima disisi yang maha kuasa. Sementara ditempat kelahiran Kapten Bongsu dilahirkan, warga setempat pada tanggal itu merayakannya dengan membuat acara drama yang diprankan oleh anak anak muda di rumah rumah para veteran. Suasanya terlihat seperti nyata menirukan perjalan sejarah dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Untuk setiap tanggal 17 Agustus, Bupati Sibolga sering menyempatkan diri menemui keluarga almarhum. Terbukti pada 17 agustus lalu, bupati sibolga memberikan penghargaan melalui para cucu, anak -anaknya. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> <span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ceritanya demikian, pasangan suami - istri Raja Pandapotan Pasaribu dan Barita Mopul br. L mempunyai dua anak laki laki yakni Raja Johannes Pasaribu (Kepala Desa Suga - Suga Hutagodang, Sibolga) dan Bongsu Pasaribu (Berpangkat Kapten - Komandan Batalyon Harimau Menggganas Tapanuli). Keduanya gugur dimedan perang untuk mempertahankan Kemerdekaan dibunuh secara sadis oleh tentara kolonial belanda. Setelah Indonesia merdeka, anak, Cucu dan para Veteran Indonesia yang ditinggal, terus berharap agar ada perhatian dari Pemerintah Pusat dan Daerah agar menepati janjinya untuk membuatkan Tugu Perjuangan ditempat kelahira sebagai tanda jasa atas kepahlawanannya. <br />
<br />
Inilah riwayat beliau, kalau mengenal Maraden Panggabean (Purn. Jenderal, yang juga mantan Pangab di orde baru) beliau adalah juga mantan seperjuangan Kapten Bongsu Pasaribu pada zaman itu yaitu satu kesatuan di Kesatuan Harimau Mengganas yaitu sebagai Komandan Sektor IV. Sementara dr. Ferdinand Lumban Tobing ( Pahlawan Kemerdekaan Nasional) zaman itu menjabat sebagai Gubernur Militer Tapanuli. Kalau belum tahu sejarahnya siapa Kapten Bongsu Pasaribu seorang Pejuang Nasional dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Beliaulah orangnya yang lehernya dipenggal (digorok) secara sangat sadis dan tidak manusiawi oleh tentara Kolonial Belanda di Harakka, Barus pada tanggal 3 Maret 1947 yaitu pada saat pecah angresi Militer Belanda ke II. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Jabatan Kapten Bongsu Pasaribu lainnya sebelum agresi Belanda, yaitu pada zaman penjajahan Jepang. Beliau telah membentuk Angkatan Pemuda dan beliau menjabat sebagai Komandan Kompani yang namanya saat itu adalah T.K.R (Tentara Keamanan Rakyat). Sekitar waktu satu tahun berjalan yaitu pada Tahun 1946, T.K.R berubah nama (dilebur) menjadi namanya adalah T.R.I (Tentara Republik Indonesia) hingga akhirnya TNI.(Tentara Nasional Indonesia). Kapten Bongsu Pasaribu lahir diperkampungan yang bernama Hutagodang yang jaraknya 25 kilometer dari pusat Kota Sibolga (Tapanuli Tengah), anak dari perkawinan pasangan Raja Pandapotan Pasaribu dengan Ibunya bernama Barita Mopul br. L pada tanggal 15 Juni 1923. Pada zaman penjajahan Kolonial Belanda, sangat jarang ada penduduk pribumi yang dapat duduk dibangku sekolah. Bisa dikatakan hanya orang-orang tertentu saja atau anak Kapala Nagari dan para pedagang rempah-rempah. Apalagi untuk bisa mengenyam kejenjang sekolah H.I.S (Hindia Indhise School) kota Sibolga. Rasanya tidak mungkin. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Tetapi beruntunglah Kapten Bongsu pada zaman itu karena memiliki kakak yang bernama Raja Johannes Pasaribu yang baik hati dan tidak mengenal menyerah dalam memperjuangkan adiknya kandungnya itu agar menjadi manusia yang terpandang di masyarakat karena masuk sekolah H.I.S. Jika hanya berharap dari pekerjaan orangtua yang sebagai petani rasanya tidak tercapai. Selain fisik. Beliau didukung pula dari materiil yang mana kedudukan Raja Johannes Pasaribu pada zaman itu (tanggal 3 Maret Tahun 1932), telah dipilih rakyat Hutagodang sampai kepengangkatan diangkat menjadi pejabat Kepala Kampung Hutagodang. Sehingga Kapten Bongsu yang dikenal sangat pintar, berkepribadian pemimpin dan memiliki bakat, membuat di sekolahnya selalu terdepan. Kepintarannya Kapten Bongsu juga telah dibuktikan dengan tamat sekolah dari H.I.S Sibolga untuk melanjutkan. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Dari H.I.S. Kapten Bongsu masuk sekolah jenjang lebih tinggi pada Quick Shcool di Tarutung (Tapanuli Utara) dan dari Quick Shcool beliau juga tamat sekolah. Setelah mendapat persetujuan kakaknya Raja Johannes, beliau merantau ke kota kembang Bandung (Jawa Barat) untuk sekolah tentara disana. Di Bandung beliau ternyata juga mampu masuk ke Kadester Shcool, hingga bisa tamat. Selanjutnya, setelah penjajah tentara Jepang masuk ke tanah air Indonesia. Oleh sang kakak, Kapten Bongsu disuruh untuk pulang kekampung halaman di Hutagodang (Sibolga). Di Sibolga, tentara Jepang sangat memerlukan tenaga prajurit yang berpengalaman tentara untuk membantu. Maka saat itu Kapten Bongsu terpilih dan oleh tentara Jepang dia dilatih menjadi tentara Gygun dan hingga mulai menyandang pangkat sebagai Gyiusoi (Opsir). Singkat cerita berakhir penjajahan Jepang di negara Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta melalui Presiden Soekarno Hatta menyatakan kemerdekanya yang jatuh pada Tanggal 17 Agustus Tahun 1945. Kapten Bongsu kembali aktif lagi berjuang yaitu pada bulan Nopember Tahun 1945, beliau membentuk Angkatan Pemuda se-kota Sibolga dan dibawah kepemimpinanya. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Saat itu Kapten Bongsu terpilih menjadi pejabat Komandan Kompani 1 (satu) yang namanya saat itu adalah T.K.R (Tentara Keamanan Rakyat). Sekitar waktu satu tahun berjalan yaitu pada Tahun 1946, T.K.R berubah nama (dilebur) menjadi namanya adalah T.R.I (Tentara Republik Indonesia) dan Kapten Bongsu dipercaya menjadi menjabat sebagai Komandan Batalyon II (dua). Hingga akhirnya jabatan Komandan Batalyon II itu diserahterima kepada bernama Marhasam Hutagalung. Sementara itu Kapten Bongsu dipercayakan menjabat sebagai pejabat Staf Resimen III dengan Komandan Pandapotan Sitompul. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Pada zaman itu. Di daerah seluruh Tapanuli telah dijadikan menjadi satu Gubernur yang dipimpin oleh Gubernur Militer bernama Dr. Ferdinan Lumban Tobing. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Sementara untuk pengamanan daerah - daerah keseluruhan Tapanuli, itu dibagi atas berbagai Sektor pertahanan. Puncuk pimpinan atau Komandan Sektor I itu dipegang oleh bernama Bejo, meliputi kekuasaan didaerah Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) wilayah di Muara Sipongi. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Sementara, Komandan Sektor II dipegang bernama Belprit Malau meliputi kekuasaan didaerah Tarutung (Tapanuli Utara), Komandan Sektor III dipegang bernama Slamat Ginting meliputi kekuasaan didaerah Sidingkalang (Tanah Karo), Komanda Sektor IV dipegang bernama Maraden Panggabean meliputi kekuasaan di daerah Sibolga /Aek Raisan, ( Purn. Jenderal masa orde baru), Komandan Sektor S dipegang bernama Simanjuntak dan MA Aritonang meliputi kekuasaan didaerah Sibolga, dan - Mobil Brigade bernama Sabar Gultom meliputi daerah Poriaha. Angresi Ke II Belanda Pada tahun 1947, Negara Belanda kembali melancarkan Agresi yang ke II di tanah air diseluruh pelosok Indonesia. Untuk masuk ke daerah daerah termasuk menjajah Kota Sibolga. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Pejabat tertinggi di Tapanuli waktu itu adalah Gubernur Militer Tapanuli bernama Dr.Ferdinan Lumban Tobing. Dr. Ferdinan Lumban Tobing bersama Komandan Sektor IV bernama Maraden Panggabean (yang sekarang Purn. Jenderal di orde baru) langsung mengistruksikan kepada semua Komandan Raund untuk mengatur pengamanan didaerahnya masing masing. Komandan Sektor IV Maraden Panggabean telah membagi Sektor IV Tapanuli yang dipimpinnya. Maka Kapten Bongsu Pasaribu yang menjadi satu satunya seorang kepercayaan terpanggil dan menjadi Komandan Raund I (kesatuan Harimau Mengganas) untuk daerah kekuasaan di Sorkam dan Barus (Sibolga). Sementara Sinta Pohan ditunjuk sebagai Komandan Raund II untuk wilayah kekuasaan diderah Bonandolok, Komandan Raund III bernama Bangun Siregar untuk kekuasaan diwilayah daerah Sibolga beserta S.M Simarangkir. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Komandan Raund IV bernama Parlindungan Hutagalung ditunjuk didaerah Jalan Tarutung, Komandan Raund V bernama Agus Marpaung untuk kekuasaan diwilayah daerah Poriaha, Komandan Raund VI bernama Henneri Siregar untuk wilayah daerah Jalan Tarutung, Komandan Raund VII bernama Paul Lumban Tobing untuk wilayah daerah Sibolga, Komandan Raund A sebagai pengawal Sektor IV oleh P. Hasibuan , dan Komandan Sektor S, Majit Simanjuntak dan M.A Aritonang untuk wilayah daerah Sibolga dan Barus Keberadaan tentara Belanda pada zaman angresi ke II di kota Sibolga, itu bermula ketika mereka terlebih dahulu melakukan penembakan - penembakan dari jarak jauh melalui pantai lautan Sibolga dengan Kapal Y.T.I Belanda. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Perlawanan sengitpun pecah dengan pasukan tentara pejuang Indonesia hingga berminggu-minggu lamanya. Namun karena alat persenjataan pasukan yang pimpinan Maraden Panggabean terbatas. Pasukan itu terpaksa bersembunyi di hutan untuk menyelamatkan nyawa masing-masing. Akhirnya tentara Kolonial Belanda dapat memenangkan peperangan di Kota Sibolga dan memasuki sudut-sudut kota melalui laut yaitu pada tanggal 24 Desember 1948, itu setelah mereka memukul mundur para pasukan pejuang kemerdekaan Indonesia. Kapten Bongsu Pasaribu dengan pasukannya langsung ditugaskan oleh Komandan </span> <span style="font-size: small;"><br />
tertingginya Maraden Panggabean zaman itu untuk bergerak menjaga wilayah Barus dan Sorkam sekitarnya. Beliau beserta pasukan berangkatlah menuju daerah Sorkam melalui bukit-bukit hutan hingga meneruskan perjalannya sampai ke Kampung Hutagodang di Kecamatan Sorkam. Kedatangan Komandan Kapten Bongsu dan pasukanya disambut gembira oleh rakyat Hutagodang. Beliau juga menyempatkan diri mengunjungi rumah orangtuanya untuk meminta doa restu dari ibunya. <br />
<br />
Disana pasukan beliau membuat satu markas pertahanan yang bernama Hubangan. Dari tempat pertahanan Hubangan, oleh Komandan Kapten Bongsu kembali mengatur semua pasukannya yang mana nama pasukannya itu adalah Kesatuan Harimau Mengganas atau disebut Raund I, Sektor IV. Selanjutnya mereka menuju daerah Sorkam (kecamatan). Karena disana beliau sudah mengetahui bahwa ada keberadaan tentara Belanda. Adapun diantara anggota-anggota kesatuan Hariamau Mengganas adalah bernama, Majit Simanjuntak sebagai wakil, Humehe Rambe (Pengatur Pertahanan). Bernama Gontar Lubis sebagai ajudan dan Staff, Kanor Samosir, Hombar Tambunan, Padet, Jaimi, Tanjung, Mian Tambunan, Mauli Panggabean, </span> <span style="font-size: small;"><br />
Bili Matondang, Ayat Tarihoran, Panemet Pasaribu, Masin Panggabean, Fliang, Kadi HT, Uruk, Mancur, Mancit, Krisman Marbun, Mahasan Aritonang, Usia Pane, Salmon Nainggolan dan Kartolo Pasaribu. Sementara untuk Seksi Perbekalan diantaranya bernama, Dior Nainggolan, Raja Johanis Pasaribu, Freodolin Purba dan Amit Simatupang yang ada di pasar Sorkam. <br />
<br />
Sementara pasukan tentara Belanda yang dipimpin Komandan Van Hali datang dengan membawa tentara Nepis termasuk Simurai dari Kota Sibolga dengan konvoi besar yang hendak mau ke Sorkam untuk bermarkas. Itu setelah mereka berhasil menguasai Sibolga. Sesampainya tentara Belanda dikampung Gontingmahe atau sampai ditengah pertengahan jalan. Pasukan Komandan Kapten Bongsu menghadang atau menghadapi perang dan terjadilah pertempuran I (satu) yang sengit berbuntut menyebar sampai ke perkampungan Parlimatohan. Tetapi disebabkan oleh kurangnya alat persenjataan dan sebaliknya tentara Belanda memiliki senjata yang serba lengkap pasukan Komandan Kapten Bongsu banyak yang gugur. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Karena selama operasi operasi ke kampung kampung sering dipatahkan oleh pasukan Komandan Kapten Bongsu. Maka oleh Belanda memperkuat banyak mata mata ( kaki tangan) yang tersebar di Tapanuli. Untuk didaerah Barus dan Sorkam, mata matanya bernama Tajim S yang berasal dari Polisi Belanda. Namun beliau juga mengetahui bahwa Tajim Sitanggang terlibat jadi mata mata. Maka oleh Komandan Kapten Bongsu memerintahkan beberapa pasukanya untuk memburu Tajim. Hingga suatu hari Tajim berhasil disergap dirumah penduduk. Tajimpun dibawa ke markas untuk mengadakan pemeriksaan. Disana Tajim diancam yaitu diberikan keputusan hukuman yang isinya kalau ketahuan berbuat lagi, saya akan melakukan hukuman nyawa harus dibalas dan diganti nyawa, kata Komandan Kapten Bongsu. Rupanya peringatan itu tidak digubrisnya Tajim atau tidak diperdulikannya. Bahkan Tajim malahan melarikan diri dan ikut bergabung lagi dengan pasukan tentara Belanda di Pasar Barus. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Di kampung Harakka oleh pasukan Komandan Kapten Bongsu terus melakukan pengejaran hingga terjadilah pertempuran yang dimulai sejak pagi hari sekira Jam 9 sampai siang jam 12. Dapat dikatakan pasukan musuh banyak sekali yang tewas. Bahkan musuh tidak berkutik sama sekali yang akhirnya mereka sebagian terus melarikan diri menyelamatkan nyawa masing masing karena tidak mempunyai daya lagi disebabkan kekurangan perbekalan maupun peluru senjata. Peperangan itu sudah selesai dan tidak ada lagi suara tembakan baik dari Komandan Bongsu, maupun Belanda. Oleh Komanda Kapten Bongsu mengirah semua tentara musuh sudah gugur dan tidak ada lagi yang hidup kecuali yang melarikan diri. Maka Komandan Kapten Bongsu beserta dua orang prajuritnya memutuskan untuk melihat para mayat yang bergelimpangan. Beliau turun mengadakan operasi pembersihan yaitu memeriksa satu persatu mayat tentara musuh akibat dari pertempuran yang hebat itu. Setibanya mereka disana, masih ada dua orang lagi dari tentara Belanda yang masih hidup yang segaja bersembunyi disatu kubangan bekas Kerbau. Dari kubangan kedua tentara Belanda itu ditemani Tajim Sitanggang (mata mata) Belanda. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Melihat posisi Komandan Kapten Bongsu yang sedang berjalan kaki saat itulah tentara belanda yang sembunyi di kubangan langsung melepaskan tembakan kearah Komandan Kapten Bongsu. Peluru senjata api yang dimuntahkan, dengan tembakan bertubi tubi tersebut. Satu peluru akhirnya mengenai kaki Komandan Kapten Bongsu. Baliau langsung tersungkur ke tanah bersimbah darah. Tak puas dengan sampai disitu, kedua tentara musuh kembali memuntahkan peluruh dari senjatanya tepat mengenai kakinya lagi. Komandan Kapten Bongsu masih sempat mengadakan perlawanan dengan membalas menembak dari senjatanya. Akhirnya Kapten Bongsu tidak bisa berkutik lagi. Melihat itu, salah seorang Tentara Belanda terus menembakin. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Tajim (mata mata) kembali memberitahukan kepada kedua tentara Belanda itu, bahwa yang mereka tertembak itu tidak lain adalah Komandan Kesatuan Harimau Mengganas, Kapten Bongsu Pasaribu. Selanjutnya tidak berapa lama tentara Belanda menghampirinya. Tentara itu mengakhiri hidup Komandan Kapten Bongsu dengan cara yang sadis dan tidak manusiawi yaitu dengan memenggal lehernya sampai putus dimana waktu itu pada tanggal 3 Maret 1947. Kepala beliau terpisah dengan badan, lalu diangkat dibawa pergi ke Pasar Barus dipertontonkan kepada rakyat Indonesia. Badannya yang masih tergeletak ditanah sengaja ditinggal tergeletak begitu saja tempat asal dibunuh. Setelah Belanda pergi ke Barus, potongan badan yang lainya yaitu potongan mulai dari leher ke kaki yang masih tergeletak dihutan dijemput oleh pasukan beliau dan dibawah ke kampung Sijungkang, disana potongan badan itu dikuburkan. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Sementara tentara Belanda yang bermarkas di Barus masih terus mempertontonkan potongan kepala Komandan Kapten Bongsu kapada para rakyat dan kepada para tahanan. Yang maksud untuk melemahkan perjuangan pasukan Indonesia di Pasar Barus agar girilyanya melemah. Potongan kepala ditenteng dalam karung itu dimulai markas di Harakka sampai ke Kota Barus. Pada hari yang ketiga, potongan beliau dikuburkanlah di Komplek penjara Barus. Setelah Bongsu Pasaribu gugur pada tanggal 3 Maret 1949. Maka puncuk pimpinan sebagai Komandan Round akhirnya dipegang sementara oleh Humahe Rambe dan kemudian diganti kepada Muliater Simatupang. </span> <span style="font-size: small;"><br />
<br />
Ditulis Oleh : Cucunya, Rekson Hermanto Pasaribu </span> </div></td></tr>
</tbody></table>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-11871122793979794422010-08-19T20:05:00.005+07:002010-08-19T20:28:49.115+07:00Kiras Bangun<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrL4kIzIP68xOhNKWNVUB3FhHdUup3lY_UDTpvKy91IqxGj9jQssMmOjtb7TMbwREMMadPPwAbVipzCpExAxizcrjxOHzmySgeSKiSfyJ2IIF08-xdnuG1m5S3sxsMZWptSPc18RP_fXY/s1600/kirasbangun.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrL4kIzIP68xOhNKWNVUB3FhHdUup3lY_UDTpvKy91IqxGj9jQssMmOjtb7TMbwREMMadPPwAbVipzCpExAxizcrjxOHzmySgeSKiSfyJ2IIF08-xdnuG1m5S3sxsMZWptSPc18RP_fXY/s320/kirasbangun.jpg" /></a></div><div class="entry-meta" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;">Kiras Bangun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh presiden </span><br />
<span style="font-size: small;"><a href="http://wapedia.mobi/id/Susilo_Bambang_Yudhoyono">Susilo Bambang Yudhoyono</a><a href="http://wapedia.mobi/id/9_November"> 9 November</a> <a href="http://wapedia.mobi/id/2005">2005</a> dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan <a href="http://wapedia.mobi/id/10_November">10 November</a> 2005 </span></div><div class="entry-meta"></div><br />
<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kiras Bangun lahir di Batukarang sekitar tahun 1852. penampilannya sederhana, berwibawa dengan gaya dan tutur bahasa yang simpatik. Masyarakat menamakan beliau Garamata yang bermakna “Mata Merah”. Masa mudanya ia sering pergi dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma adat budaya Karo dengan baik.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pemerintahan yang ada pada masa itu disebut pemerintahan Urung dan Kampung yang berdiri sendiri/otonomi. Jalannya roda pemerintahan dititikberatkan pada norma-norma adat. Tidak jarang pula terjadi sengketa antar Urung dan antar Kampung dengan motif berbagai macam persoalan.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pihak-pihak yang bertikai, acap kali mengundang Garamata turut memecahkan persoalan. Dengan sikap jujur, berani dan bertanggung jawab Garamata bertindak tegas tetapi arif dan bijaksana, berlandaskan semboyan “Rakut Sitelu” (Kalimbubu, Sembuyak dan Anakberu) yang sudah membudaya dalam kehidupan sehari-hari.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam bertindak beliau selalu berpegang teguh pada prinsip membenarkan yang benar, tidak berpihak, menyebabkan berbagai sengketa dapat diredakan secara damai yang memuaskan semua pihak. Simpati masyarakat tidak terbatas dikawasan Tanaha Karo saja, melainkan meluas sampai ke daerah tetangga seperti: Tanah Pinem Dairi, Singkil Aceh Selatan, Alas Gayo Aceh Tenggara, Langkat dan Deli Serdang. Hubungan dengan daerah–daerah tersebut terpelihara serasi, terlebih-lebih kegigihan perlawanan rakyat Aceh Selatan dan Aceh Tenggara terhadap penjajah Belanda, dikagumi dan dipantau secara berlanjut.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Latar Belakang Ekspansi Belanda ke Tanah Karo</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tanah Karo telah diketahui Belanda karena kerbau sebagai penarik kereta keperluan perkebunan diperoleh dari Tanah Karo. Disamping itu Binjai pada waktu itu telah menjadi kota yang didiami tuan-tuan kebun Belanda dimana banyak didatangi orang-orang Karo dari Karo Tinggi dan ada diantaranya yang bekerja sebagai pekerja kebun maupun mandor.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kepopuleran Kiras Bangun/ Garamata telah diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk itu timbul keinginan Belanda menjalin persahabatan dengan Garamata agar dibenarkan memasuki Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan. Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan senjata.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tawaran Belanda demikian mengandung maksud-maksud tersembunyi yang sukar ditebak apalagi Tanah Karo tidaklah cukup luas untuk jadi perkebunan.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Timbulnya Permusuhan dengan Belanda</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Utusan Belanda Nimbang Bangun telah bolak-balik dari Binjai ke Tanah Karo namun keinginan Belanda memasuki Tanah Karo tetap ditolak. Keputusan ini diambil setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo sebagai berikut:</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Keinginan Belanda untuk bersahabat dengan rakyat Karo dapat diterima asal saling menghargai dan menghormati.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo ditolak. Belanda tidak perlu campur dalam soal pemerintahan di Tanah Karo sebab rakyat Karo selama ini sudah dapat mengatur diri sendiri menurut peradatannya sendiri.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Keinginan Belanda masuk Tanah Karo diwujudkan pada tahun 1902, dengan mengirim Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya ke Tanah Karo setelah sebelumnya mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Garamata memberikan beberapa kali peringatan untuk meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau berangkat. Kemudian Garamata bekerja sama dengan beberapa Urung berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sejak pengusiran itu timbullah puncak permusuhan dengan Belanda.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Menggalang Kekuatan</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Perkembangan situasi yang sudah menegang disampaikan kepada tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan sebagai daerah tetangga yang sehaluan. Kemudian Garamata menugaskan beberapa orang untuk mengetahui informasi tentang keinginan Belanda ke Tanah Karo dengan dalih membuka perkebunan, yang merupakan tindakan memaksakan kehendaknya. Dari tokoh-tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan ini diperoleh jawaban akan membantu Garamata.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Situasi yang berkembang di Tanah Karo sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk menghimpun segenap kekuatan. Pertemuan Urung/Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung serta melaksanakan rencana-rencana.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Melalui pertemuan Urung, Garamata dalam pengarahannya membentuk pasukan Urung dan mengadakan benteng pertahanan di tiap-tiap Urung. Persenjataan pasukan Urung terdiri dari pedang, parang, tombak, dan senapan (dalam jumlah terbatas) yang tersedia di Urung masing-masing. Dengan demikian upaya menghimpun kekuatan, mengobarkan semangat perlawanan gigih dan bersatu sembari kewaspadaan tidak dilengahkan merupakan tekad Garamata dan pengikut-pengikutnya yang setia.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Kenyataan membuktikan bahwa pertemuan Urung di Tiga Jeraya mampu mengerahkan ribuan orang pria dan wanita mengangkat “Sumpah setia melawan Belanda” yang pengucapannya dilakukan secara serempak yang menggemuruh. Pertemuan Urung dilakukan sebanyak 6 kali dan yang terbesar pertemuan Jeraya Surbakti.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Intervensi Belanda di Seberaya Membangkitkan Kemarahan Garamata</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada tahun 1904 serdadu ekspedisi Belanda datang dari Aceh melalui Gayo Alas dan Dairi menuju Medan. Dalam perjalanannya ke Medan melalui Tanah Karo, pasukan tersebut memasuki kampung Seberaya dimana saat itu terjadi perang saudara. Dalam perjalanan pasukan Belanda mampir di kampung Sukajulu terjadi pertempuran dengan pasukan Simbisa Urung dan pasukan Urung tewas 20 orang.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Perisitiwa berdarah di beberapa tempat merupakan petunjuk bagi tokoh Karo bahwa Belanda telah mulai menginjak-injak kedaulatan rakyat Karo. Kecurigaan Garamata demikian terbukti bahwa maksud kedatangan Belanda ke Tanah Karo adalah menjajah seperti di Langkat. Garamata memastikan bahwa perang pasti terjadi dan karena itu menugaskan beberapa orang ke Alas dan Gayo memperoleh bantuan sebagaimana disepakati setahun lalu.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Batukarang Jatuh</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Karena kedudukan musuh di Kabanjahe maka disusun benteng pertahanan terdepan, yang merupakan garis pertahanan sepanjang jalan Surbakti-Lingga Julu (Kabanjahe Selatan) dan sepanjang jalan Kandibata-Kacaribu (Kabanjahe Barat) sedangkan pucuk pimpinan (Pos Komando) Garamata berkedudukan di Beganding (Kabanjahe Tenggara) untuk memudahkan pelaksanaan komando.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ultimatum Garamata kepada Guillaume yang sudah menduduki Kabanjahe untuk kedua kalinya tidak mendapat tanggapan, bahkan mendatangkan marsuse Belanda lebih banyak lagi. Serdadu pengawalnya sudah diperkuat lagi dari sebelumnya.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Patroli-patroli Belanda menghadapi perlawanan pasukan Urung mengakibatkan terjadinya tembak-menembak. Dimaklumi memang bahwa daya tempur pasukan Simbisa/Urung terbatas pada tembak lari atau sergap “bacok lari”, kemudian berbaur dengan masyarakat setempat. Begitu pula benteng-benteng pertahanan dengan senjata pedang, parang, tombak, bedil locok dan senapang petuem yang terbatas tidak mendukung untuk bertahan lama. Adapun tembak-menembak terjadi tidak seimbang dan pihak Belanda memiliki senjata yang lebih mutakhir sedangkan di pihak Simbisa/Urung mempunyai senjata yang kalah jauh dari perlengkapan lawan.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Satu demi satu benteng pertahanan pasukan Simbisa/Urung dapat dikuasai musuh, seperti benteng pertahanan LIngga Julu, meminta korban jiwa, termasuk pimpinan pasukannya tewas tertembak. Sementara benteng pertahanan Kandibata yang dibantu pasukan dari Aceh Tenggara ditarik ke garis belakang. Benteng Mbesuka dan Tembusuh di Batukarang, (15/9/1904) dikuasai Belanda. Mujur atas dorongan para ibu dengan sorak sorai beralep-alep merupakan dorongan semangat tempur tetap tinggi. Pasukan Urung terpaksa membayar mahal dan tidak kurang dari 30 orang tertembak mati, seorang diantaranya perwira. Seusai pertempuran pasukan Urung menyingkir ke Negeri, 3 km dari Batukarang yang dipisah oleh Lau Biang yang bertebing terjal.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Negeri sebagai tempat menyingkir Garamata dan pasukannya jadi sasaran serangan mendadak oleh pasukan Belanda, seusai Batukarang diduduki, Nd. Releng br Ginting isitri Garamata menderita luka tembak sembari Garamata dan pasukannya menduduki Singgamanik dan sekitarnya.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Liren dan Sekitarnya Jadi Basis Perlawanan</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Walaupun pasukan Simbisa/Urung sudah berpencar, keesokan harinya ditetapkan Kuala menjadi daerah tempat berkumpul. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran, maka pasukan Simbisa/Urung berangkat menuju Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal sebagai basis pertahanan.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dijelaskan bahwa daerah ini termasuk Dairi yang berbatasan dengan aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Tanah Karo. Medannya bergunung-gunung, lembah yang dalam dan terjal, kurang subur, berpenduduk jarang sehingga cocok menjadi basis gerillya tetapi lemah dalam dukungan logistik.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sebagai daerah penyingkiran semua rencana diatur dari basis ini baik untuk kontak hubungan dengan daerah tetangga maupun mengganggu patroli-patroli Belanda yang secara rutin melewati Liren dan daerah sekitarnya.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Perang Gerilya</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Garamata dalam pengarahannya kepada pasukan Simbisa/Urung membuat pesan dari pedalaman antara lain, teruskan perjuangan melawan Belanda dimana saja semampu yang dimiliki dengan motto: “namo bisa jadi aras, aras bisa jadi namo” (namo=lubuk, aras=arus air yang deras). Artinya sekarang kita kalah, besok kita menang.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada kesempatan lain Garamata berangkat ke Singkil dengan tujuan menemui teman seperjuangannya Sultan Daulat tetapi tidak ketemu. Tidak ada keterangan diperoleh selain Aceh Selatan dan Aceh Tenggara sudah dikuasai Belanda sehingga hubungan antara kedua pihak menjadi terputus. Perlu dijelaskan bahwa waktu hendak kembali ditengah jalan ketemu dengan marsuse Belanda, Garamata dapat mengelabuinya dengan menyamar sebagai pengail.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam perjalanan pulang ke Lau Petundal, Garamata singgah di Lau Njuhar, tidak lama kemudian pasukan Belanda datang mengepung. Posisi Garamata dalam bahaya dan diatur bersembunyi dalam satu rumah.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sementara itu Garamata dipersiapkan menyamar seperti seorang perempuan yang baru melahirkan dengan muka disemburi pergi kepancuran, dengan demikian loloslah Garamata dari serangan Belanda.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>Opportinuteits Beginsiel</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pendudukan Belanda atas Batuk arang dengan mengerahkan sebanyak 200 orang marsuse Belanda bersenjata lengkap ternyata belum memulihkan keamanan. Patroli Belanda tetap mendapat perlawanan walau tidak secara frontal.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Betapapun usaha yang diupayakan untuk menangkap tokoh-tokoh Urung terutama Garamata tidak berhasil sehingga semua rencana Belanda memperkuat kedudukannya seperti membuka jalan dari Kabanjahe ke Alas, mengutip blasting, menjalankan roda pemerintahan selalu terganggu/tidak dapat dijalankan. Maka dikeluarkan opportinuteits beginsiel terhadap Kiras Bangun atau Garamata bersama pengikut-pengikutnya.</span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Mengingat banyaknya rakyat korban akibat tindakan marsuse Belanda yang semakin membabi buta seperti peristiwa di Kuta Rih disamping itu disadari bahwa pasukan tidak dapat bertahan lebih lama mengingat keadaan yang sudah parah, terutama disebabkan hubungan dengan Alas, Gayo, Singkil sudah tertutup, pada saat mana Belanda menawarkan opportinuteits maka Garamata bersama anak buahnya berunding untuk mengambil keputusan. Dengan pertimbangan prikemanusiaan dan untuk menghindari rakyat korban lebih banyak maka penawaran Belanda atas opportinuteits beginsiel diterima dengan berat hati dan bertekad untuk menyusun kekuatan sehingga pada suatu saat dapat bangkit kembali mengusir Belanda.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ternyata Belanda tidak mentaati tawaran sendiri karena Garamata tetap dihukum dalam bentuk pengasingan di salah satu tempat di perladangan Riung selama 4 tahun.</span><br />
<span style="font-size: small;"> </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
<div style="text-align: justify;"><i><span style="font-size: small;">Sumber: Berbagai sumber</span></i></div></div><div class="entry-meta" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: x-small;"><i><span style="font-size: small;">Entri ini ditulis oleh <a class="url fn" href="http://rapolo.wordpress.com/author/rapolo/" title="View all posts
by rapolo">rapolo</a> dan dikirimkan oleh <abbr class="published" title="2003-10-14T03:32:00+0000">Oktober 14, 2003 at 3:32 am</abbr> dan disimpan di bawah <a href="http://id.wordpress.com/tag/kiras-bangun/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Kiras Bangun">Kiras Bangun</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/legenda-garamata/" rel="category tag" title="Lihat seluruh tulisan dalam Legenda Garamata">Legenda Garamata</a>dengain kaitkata<a href="http://id.wordpress.com/tag/adat-budaya-karo/" rel="tag">adat budaya Karo</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/anak-beru/" rel="tag">Anak Beru</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/batukarang/" rel="tag">Batukarang</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/garamata/" rel="tag">Garamata</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/kalimbubu/" rel="tag">Kalimbubu</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/kiras-bangun/" rel="tag">Kiras Bangun</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/rakut-sitelu/" rel="tag">Rakut Sitelu</a>, <a href="http://id.wordpress.com/tag/sembuyak/" rel="tag">Sembuyak</a>. </span></i>. </span></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-70571188216078575502010-08-18T23:31:00.014+07:002010-08-20T11:50:05.892+07:00Raja Sang Na Ualuh Damanik<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://halibitonganomtatok.files.wordpress.com/2009/01/alamat-makam-s83.jpg?w=387&h=408" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://halibitonganomtatok.files.wordpress.com/2009/01/alamat-makam-s83.jpg?w=387&h=408" width="303" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="entry-content"><div class="snap_preview"><div style="text-align: center;"><b>SANG NA UALUH DAMANIK: RAJA SIATTAR YANG TERLUPAKAN</b></div><div style="text-align: center;"><b><br />
</b></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>A. Pengantar</b><br />
Pada awalnya, sebelum memasuki abad ke-16 terdapat dua buah kerajaan besar di wilayah Simalungun yaitu kerajaan Nagur yang yang telah disebut dalam catatan Tiongkok abad ke-15 (“Nakuerh”) dan Marcopolo tatkala ia singgah di Pasai tahun 1292 M. Kerajaan besar itu menguasai wilayah sampai ke hulu Padang-Bedagai dan hulu Asahan. Kerajaan tua yang lain ialah Batangio yang terletak di Tanah Jawa (Tideman, 1922, Kroesen 1904 : 557). Menurut Moolenburg (1909 : 555) wilayah Nagur meliputi Dolog Silou, Raya dan Panei serta Purba dan Silima Huta, sedangkan Batanghio meliputi Siantar, sebagian Asahan dan Tanoh Jawa. Sumber Cina Ying-yai Sheng-Lan pada tahun 1416, menuliskan nama Nagur dengan Nakkur. Relik-relik peninggalan Nagur, masih dapat dijumpai berupa konstruksi tua bekas kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para ahli di Kerasaan (Holt 1967:26;Tideman, 1922:51).</span><br />
<br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;">Disamping itu, raja Nagur yang bernama Silomalela terkenal kemampuannya bermain catur. Hal ini terbukti dengan ditemukannya bidak batu didesa Bah Bolak dengan gambar kembar yang merupakan istri dan anak raja Nagur (Holt 1967:26;Tideman 1922:51). Kedua Artefak itu masih tersimpan rapi di Museum Simalungun di Pematang Siantar yang pendiriannya digagas oleh J. Wismar Saragih dengan dukungan ahli filologi Vorhooeve tahun 1938 (kini sudah roboh). Sebenarnya, kerajaan Tanjung Kasau yang juga merupakan Partuanon dari Batanghio adalah wilayah Simalungun, namun oleh pemerintah kolonial dimasukkan dalam wilayah ke Labuhan Batu karena penduduknya yang sudah Islam.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Ketika kerajaan Aceh menjadi besar sejak abad ke-16, terutama pada masa Iskandar Muda dan rencana unifikasi wilayah Sumatra Timur dibawah kekuasaan Aceh, maka dibentuklah kerajaan-kerajaan yang baru yang diikuti oleh penunjukan wali negeri Aceh di Simalungun. Pada masa ini dibentuk 4 (empat) kerajaan (Raja Na Opat) yaitu kerajaan Siantar, Tanah Jawa, Dolok Silau dan Pane masing-masing dikuasai marga Damanik, Sinaga, Dasuha dan Purba yang bersifat konfederasi (Clauss 1982). Tideman (1922) menulis kedudukan raja maroppat sebagai berikut: Bale (i) bona (rechtvoor), Silau (u), Bale(i) bonah lopah (Lingks voor), Tanah Djawa, Bale(i) oedjoeng (recht ahcter) Siantar dan Balei (i) oedjoeng lopah (lingks archter), Panei.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Pada saat negeri Melayu di pesisir Sumatera Timur sejak 1865 sudah ditundukkan Belanda, maka wilayah Simalungun masih dianggap wilayah “Bonafhankelijk Bataksche” gebied (wilayah Batak yang masih merdeka), yaitu belum menjadi wilayah “Gubernemen Hindia Belanda”. Meskipun demikian berkali-kali mereka mencoba untuk masuk dan mempengaruhi orang-orang Simalungun terutama yang berada di Hulu Serdang dan Hulu Padang-Bedagai serta Hulu Batubara, agar tunduk dan juga sambil mempelajari karakter suku bangsa ini. Rencana penaklukan ini seiring dengan desakan pengusaha Deli Mij kepada pemerintah Hindia Belanda dalam upaya ekspansi perkebunan di sepanjang pantai Timur Sumatra (east coast of Sumatra). Sebagaimana diketahui bahwa hingga pada tahun 1875, sekitar 40 pengusaha Eropa di Sumatra Timur sudah menanamkan sahamnya. Oleh karena itu, kebutuhan lahan dengan konsesi jangka panjang serta sewa tanah yang minim menjadi kebutuhan. Cara itu dapat ditempuh dengan cara bekerjasama dengan penguasa local seperti di Deli pada saat kepemimpinan Mahmud Perkasa Alamsjah.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Di Simalungun sendiri, pengusaha perkebunan berupa mendekati penguasa lokal seperti di Dolog Silau, Siantar, Tanoh Djawa dan Panei. Perkebunan teh, karet dan kelapa sawit sudah mulai ditanam pada tahun 1898 dengan konsesi tanah dari tiga penguasa local kecuali Siantar. Oleh sebab itu, penguasa lokal yang pada saat itu dipegang oleh Sang Na Ualu Damanik bermaksud untuk dimakzulkan karena tidak dapat bekerjasama dengan pengusaha kolonial. Zendeling utusan Nommensen dari tanah Toba yang ditugaskan untuk membujuk raja tersebut justru dikurung di kandang ayam selama satu malam (MOP, 2007).</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Wilayah Dolog Silau yang begitu luas dan intensnya pertikaian antar huta, maka tiga partuanon, yakni Partuanon Raya (Saragih Garinging), Purba (Purba Pakpak) dan Silimahuta (Purba Girsang) dinaikkan statusnya menjadi kerajaan yang tunduk pada pemerintah Hindia Belanda dan bukan kepada pamatang-nya Dolog Silau. Strategi ini ditempuh untuk mempererat kekuasaan Dolog Silau dengan tiga kerajaan besar lainnya. Upaya ini didukung oleh pemerintah kolonial Belanda dengan penaklukan harajaon na opat dan pembentukan harajaon na pitu melalui traktat pendek.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>B. Kekecewaan Sang Na Ualuh.</b><br />
Sejak penguasaan Belanda di Sumatra Timur dan rencana ekspansi perkebunan ke wilayah Simalungun hingga Labuhan Batu, maka Tebingtinggi dijadikan basis dan markas laskar pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya adalah untuk menghala sekaligus mempersempit Tanah Simalungun. Untuk itu, pada tahun 1888 rencana pertama yang dilakukan pemerintah kolonial adalah memaksa Sultan Deli agar menyerahkan kekuasaan Padang (Tebing Tinggi) kembali kepada Maharaja Muda Saragih yakni wilayah kekuasaan kerajaan Raya dengan rajanya yakni Tuan Rondahaim Saragih. Selanjutnya, pada tahun 1891 Raja Raya Tuan Rondahaim Saragih meninggal dunia. Sebagaimana diketahui Tuan Rondahaim dengan gelar Tuan Na Mabajan (Raja yang Bengis) adalah raja yang tidak kenal lelah dan pernah disurati oleh SMR XII untuk tetap melakukan perlawanan dengan pemerintah kolonial.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Pada tahun 1888 kontrolir Kroesen mengakui kerajaan Siantar masuk dalam pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa itu, kerajaan Siantar sedang tidak memiliki seorang raja sepeninggal ayahanda Sang Na Ualuh yang belum akil baliq. Kerajaan Siantar pada saat itu dipangku oleh Tuan Anggi yakni Raja Hitam dengan Bah Bolak sebagai perdana menterinya. Tetapi mengingat bahwa modal perkebunan akan segera mengalir ke wilayah Simalungun maka dibutuhkan konsesi tanah dengan cara menaklukkan kekuasaan otoritas lokal yaitu menggangkat dan mengakui Sang Na Ualuh sebagai Raja Siantar meskipun belum akil baliq. Namun, dikemudian hari raja yang masih belia ini ternyata dinilai oleh pemerintah kolonial sebagai orang yang keras kepala sehingga sangat mengecewakan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Dalam pandangan raja yang muda ini, mengganggap bahwa integritas wilayah kerajaan Siantar telah memudar sama sekali. Sang Na Ualuh juga melihat bahwa selama mengalirnya modal asing dari perkebunan Belanda ke wilayah Simalungun dengan tanpa menghiraukan hak-hak tanah rakyat. Sebaliknya, kontrolir Belanda telah dengan leluasa mengkavling tanah dan membagi-bagikannya kepada pengusaha Eropa lainnya. Disamping itu, pemerintah kolonial juga telah mencampuri urusan pemerintahannya. Ia menilai bahwa kemerdekaan kekuasaanya tidak mungkin diperoleh apabila kepemimpinannya tetap menjadi underbow pemerintah kolonial. Lain daripada itu, pemerintah kolonial secara terang-terangan menyatakan dukungan terhadap zending Kristen (RMG maupun NZG) untuk seluruh Tanah Batak. Orang Batak dari Utara yang menganut Kristen dimobilisasi ke tanah Simalungun untuk membuka serta mengusahakan tanah sawah. Islam berkembang dan masuk dari pesisir timur ke Simalungun melalui Tanjung Kasau, Batubara, Padang dan negeri Bandar sendiri.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Terhadap sejumlah upaya pemerintah kolonial tersebut, dalam tahun 1901 Raja Siantar Sang Na Ualuh menyatakan masuk dan memeluk agma Islam sehingga memicu kekecewaan pemerintah kolonial. Sejak saat itu, hubungan yang tidak harmonis berlanjut dengan upaya pemerintah kolonial untuk memakzulkan dengan cara mencari alasan yang tepat. Peringatan-peringatan dari kontrolir Belanda di Batubara (masa itu kontelir khusus untuk Simalungun belum ada) justru tidak dihiraukan. Pada tahun 1903, Misi Sungai Rhein (RMG) Jerman mengutus Rev. August Theis atas permintaan Nomenssen untuk menyebarkan agama Kristen di Timorlanden. Ia mendarat di Tigaras dan menelusuri wilayah pegunungan hingga tiba dan menetap di Pematang Raya setelah mendapat izin dari penguasa Raya. Misi RMG ini mendekati rakyat lokal dengan memperkenalkan perawatan medis dan pendidikan modern melalui lembaga diakonia rumah sakit dan sekolah.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Abominasi kepada Belanda telah tercipta pada sejak kepemimpinan ayahandanya. Untuk mengusir kekuasaan Belanda ayahandanya pernah membuat perjanjian rahasia dengan seorang Jerman bernama Baron Von Horn, pemilik perkebunan Helvetia di Medan pada tahun 1885 yang antara lain adalah jika Von Horn dapat mengusahakan Jerman mengusir Belanda di Siantar maka akan diberikan konsesi membuka perkebunan di Siantar. Tetapi hal ini tercium oleh kontrolir Belanda, sehingga Von Horn diusir dari Indonesia. Pada masa itu, kontrolir Kroesen dan van Dijk sedang sibuk mengadakan penelitian tanah di wilayah-wilayah kerajaan yang sudah menandatangani perjanjian pendek dengan Belanda untuk dipersiapkan dan diberikan konsesi perkebunan pada kapitalis Eropa.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>C. Siantar menjadi Pusat Afdeling</b><br />
Ditengah-tengah suksesnya perkebunan di Sumatra Timur, sejumlah kota-kota dinaikkan statusnya menjadi kota administratif (geemente) dan kabupaten (afdeeling). Wilayah kecamatan (onderafdeling) ditata sedemikian rupa sehingga mencerminkan sebuah kota dengan peradaban modern. Siantar (ibukota kerajaan Siantar) telah dipersiapkan pemerintah kolonial menjadi ibukota afdeling Simalungun yang sebelumnya merupakan onderafdeling Karo-Simalungun. Perlawanan rakyat karo dibawah pimpinan Kiras Bangun telah dilumpuhkan pada tahun 1904 dan menduduki wilayah dingin pegunungan tersebut. Pada saat itu, ahli Batak, Kontrolir Westenberg, diangkat menjadi Assisten Residen urusan Batak Dusun beribu Kota di Saribu Dolok pada tahun 1905.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Wilayah-wilayah kekuasaan dinegeri Simalungun yang sudah menandatangani Perjanjian Pendek telah dibangun jalan raya sebagai penghubung antara perkebunan-perkebunan besar yang baru dibuka. Acapkali muncul ketegangan dan perlawanan rakyat yang hak-hak tanahnya diambil alih oleh pengusaha perkebunan seperti perlawanan Tuan Raimbang dari Dolog Panribuan. Akhirnya Tuan Raimbang tertangkap dan tewas akibat siksaan selama hukuman penjara Belanda di Sukamulia Medan. Demikian pula raja Panei yakni Tuan Jontama Dasuha yang melapor kepada Asisten Residen Sumatra Timur di Medan sebagai akibat perbuatan semena-mena pengusaha kolonial. Hingga kini, jasad Raja Panei tersebut belum diketemukan. Perlawanan rakyat Girsang dan Simpangan Bolon yang menyerang pos kolonial di Parapat dapat dilumpuhkan pada tahun 1906. Sementara itu, Rev. Simon (kemudian dilanjutkan oleh Muller) dari Misi Sungai Rhein Jerman telah bergerak membuat projek irigasi di negeri Bandar wilayah kekuasaan Kerajaan Siantar. Pemerintah Hindia Belanda mengharapkan agar misi Kristen ini menjadi bahagian dari negeri Batak yang harus dikeluarkan dari pengaruh Islam.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Melihat berbagai peristiwa diwilayah kekuasaannya, Sang Na Ualuh memiliki dendam terhadap pemerintah kolonial dan memilih upaya konfrontasi. Sinyal pemberontakan dari raja ini terbaca dan dimakzulkan atas tuduhan intrik dan pemerasan terhadap penduduknya sendiri. Oleh karena itu, atas petunjuk Residen Sumatera Timur yang diteruskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda nomor 2478/05/3775/4 maka Raad van Nederlandsch–Indie dalam keputusan sidangnya tanggal 6 April 1906 telah mengeluarkan putusan sebagai berikut: “Jika seandainya Residen Sumatera Timur yang baru diangkat setuju dengan usul rekannya terdahulu mengenai apa yang akan diperbuat dengan Raja Siantar seperti yang dijelaskan secara telegrapis sebelumnya, begitu juga Raad van Ned. Indie sejalan dengan pendapatnya. Pendapat diatas dikeluarkan jika seandainya karena sesuatu alasan politik tidak jadi raja dijatuhkan atau karena pemerintah daerah setempat sehubungan dengan itu datang dengan usul agar ianya direhabilitir”.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Sesuai dengan peraturan undang-undang kolonial, maka seandainya raja dijatuhkan maka harus ada persiapan untuk pemerintahan sementara sebagaimana yang diusulkan didalam nota Sekretaris Negara. Mengenai usul Residen supaya Sang Na Ualuh dan Bah Bolak ditahan di Medan hingga suasana dan kondisi akan lebih di kerajaan Siantar, hanya mungkin jika pasal 47 dari R.R. dikenakan kepada mereka. Oleh sebab itu diharapkan agar Residen Sumatera Timur memberikan pendapatnya tentang upaya pemakzulan Sang Na Ualuh. Oleh karena itu, untuk alasan dijatuhkannya Sang Na Ualuh dari tahta kerajaan Siantar, Residen Sumatera Timur mengumpulkan kesalahan-kesalahan Sang Na Ualuh dan menterinya Bah Bolak. Untuk itu dipakai laporan pengaduan yang diperbuat oleh Kontrolir Batubara Karthaus April 1905 yang berisi ”10 kejahatan-kejahatan bersifat penindasan” yang diperbuat oleh Raja Siantar dengan sepengetahuan Bah Bolak dan menteri-menteri lainnya anggota-anggota Kerapatan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Tuduhan-tuduhan Kontrolir Batubara tersebut oleh Residen Sumatera Timur dengan suratnya kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 25 Agustus 1905 nomor 3775/4 didukung dengan menyatakan bahwa Sang Na Ualuh sudah di interogasinya sendiri dan dinyatakan “sudah mengaku salah”. Lebih lanjut dalam suratnya disebut pula bahwa atas dasar itu tidak mungkin lagi Sang Na Ualuh dipertahankan lebih lama selaku Raja Siantar.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Residen Sumatera Timur juga mengusulkan agar selaku pengganti Sang Na Ualuh ditunjuk puteranya yaitu Tuan Riah Kadim. Berhubung karena Riah Kadim belum akil baliq, maka sebagai pemangku diserahkan kepada Tuan Sidamanik dan Marihat dan pemerintahan kerajaan Siantar sementara itu dijabat oleh Kontrolir Simalungun yang bakal diciptakan. Dengan Besluit tanggal 24 April 1906 nomor 1 kemudian diperkuat dengan Besluit tanggal 22 Janauari 1908 nomor 57, Raja Siantar Sang Na Ualuh dijatuhkan dari tahtanya. Selaku pemegang pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akli balighnya Tuan Riah Kadim maka otoritas kekuasaan dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan yang terdiri dari Tuan Marihat dan Tuan Sidamanik yang diketuai oleh Kontrolir Simalungun.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><b>D. Meninggal di Pembuangan Bengkalis.</b><br />
Raja Siantar Sang Na Ualuh dan Perdana Menterinya Bah Bollak di internir (dibuang) oleh pemerintah kolonial ke Bengkalis pada tahun 1906. Upaya tersebut telah memuluskan jalan bagi pemerintah kolonial untuk memperoleh konsesi tanah dari Dewan Kerajaan Siantar yang diketuai Kontrolir Belanda itu dan dibentuklah Besluit tanggal 29 Juli 1907 nomor 254 yakni dikeluarkannya Pernyataan Pendek (Korte Verklaring) yang isinya adalah pernyataan takluknya Siantar kepada Pemerintah Hindia Belanda. Seiring dengan itu, nyatalah bahwa penanaman modal Eropa semakin terbuka di wilayah Simalungun. Pada tahun 1906 perkebunan Siantar Estate dibuka dan terus melebar ke berbagai daerah dengan komoditas perkebunan yang beranekaragam seperti karet, teh, kakao dan kelapa sawit.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Tahun 1912 ibu negeri affdeling Simalungun dipindahkan dari Saribu Dolok ke Siantar dan Riah Kadim Damanik dengan nama baptis Waldemar diangkat menjadi Raja Siantar yakni Raja Kristen pertama di wilayah Simelungun/Karo yang menadatangani Pernyataan Pendek pada tanggal 18 Mel 1916. Sesuai tradisi, putra mahkota yang layak menjadi raja adalah Tuan Sarmahata Damanik yang lahir di Bengkalis pada tahun 1911 yakni putra pertama yang dilahirkan oleh puang bolon (permaisuri). Tetapi karena Sarmahata masih sangat belia, maka Tuan Riah Kadim Waldemar Damanik diangkat sebagai penerus tahta kerajaan. Pada saat keluarga Sang Na Ualuh berkunjung ke Bengkalis, Tuan Sang Na Ualuh mengirmkan foto dan menitipkan pesan tertulis dibalik foto dalam aksara Simalungun: ”Selama hidup saya dalam pembuangan, pimpinan rakyat di daerah bersatulah!”. Dua tahun setelah lahirnya putra mahkota Tuan Sarmahata maka pada tahun 1914 Sang Na Ualuh wafat dalam pembuangan di Bengkalis. Pada pusara Sang Na Ualuh di Bengkalis tertulis: “<i>Makam Raja Batak beragama Islam”.</i></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: right;"><span style="font-size: small;"><i>Erond L. Damanik, M.Si<br />
Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial<br />
Lembaga Penelitian-Universitas Negeri Medan</i></span></div></div></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-65463269950467083522010-08-18T23:29:00.004+07:002010-08-20T01:13:20.502+07:00Dr. Ferdinand Lumban Tobing<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/archive/f/f2/20091228092117%21Ferdinand_Lumbantobing.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/archive/f/f2/20091228092117%21Ferdinand_Lumbantobing.jpg" width="294" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div style="font-family: Arial Narrow; font-size: 24px;"> Ferdinand Lumban Tobing </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> <div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pahlawan nasional, lahir di Sibuluan, Sibolga, pada tanggal 19 Februari 1899. Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Depok, Bogor, ia melanjutkan pelajaran ke STOVlA (Sekolah Dokter) di Jakarta dan tamat pada tahun 1924. Setelah itu ia bekerja sebagai dokter di CBZ (sekarang Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo) Jakarta bagian penyakit menular. Dari situ ia dipindahkan ke Tenggarong (Kalimantan Timur), kemudian ke Surabaya sampai tahun 1935. Sesudah itu, ia bertugas di Tapanuli, mula-mula di Padang Sidempuan, kemudian di Sibolga.<br />
<br />
Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat menjadi dokter pengawas kesehatan romusya. Dengan perasaan sedih ia menyaksikan bagaimana sengsaranya nasib para romusya yang dipaksa membuat benteng di Teluk Sibolga. Karena itu, ia melancarkan protes terhadap pemerintah Jepang. Akibatnya, ia dicurigai dan termasuk dalam daftar orang terpelajar Tapanuli yang akan dibunuh oleh Jepang. Ia terhindar dari bahaya maut sebab berhasil menyelamatkan nyawa seorang Tentara Jepang yang jatuh dari kendaraan.<br />
<br />
Pada tahun 1943 ia diangkat menjadi ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli di samping anggota Cuo Sangi In. Pada masa awal Revolusi ia merupakan tokoh penting di Tapanuli. Pada bulan Oktober 1945 ia diangkat menjadi Residen Tapanuli. Sebagai Residen, ia menghadapi saat-saat sulit ketika daerah Tapanuli dilanda pertentangan bersenjata<br />
antara sesama pasukan RI yang datang dari Sumatera Timur setelah daerah itu jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda. Tetapi Tobing berpendirian tegas dan tidak mudah digertak. Dalam Agresi Militer II Belanda, ia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. la memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Setelah pengakuan kedaulatan, ia ditawari untuk menjadi Gubernur Sumatera Utara, tetapi tawaran itu ditolaknya. Dalam Kabinet Ali I ia diangkat menjadi Menteri Penerangan Jabatan lainnya Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dan terakhir Menteri Negara Urusan Transmigrasi. la meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1962.</span></div></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-55494891026075389022010-08-18T23:28:00.018+07:002010-08-21T00:40:53.525+07:00Jenderal A. H. Nasution<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://lh5.ggpht.com/_cUu4Y6XSqdU/SxCfSMTceGI/AAAAAAAAABU/wlaQGoqViJQ/2%5B58%5D.png?imgmax=800" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://lh5.ggpht.com/_cUu4Y6XSqdU/SxCfSMTceGI/AAAAAAAAABU/wlaQGoqViJQ/2%5B58%5D.png?imgmax=800" width="320" /> </a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jendral Abdul Haris Nasution lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918, Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat beribadat. Ia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. Kalau ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, Pak Nas orangnya. Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah Pak Nas pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas terpaksa membuat sumur di belakang rumah. Sumur itu masih ada sampai sekarang.</span></span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi korban pasukan pemberontak yang dipimpin Kolonel Latief. Pak Nas-lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan.</span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> </span></span><br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> </span></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela penguasa ketimbang rakyat.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba. Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar Jenderal Besar kepada Pak Nas menjelang akhir hayatnya. Meski pernah “dimusuhi” penguasa Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya</span></span><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar.</span></span></div><span style="font-size: small;"><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /></span><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma, ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun.</span></span></div><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"> </span></span><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).</span></span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat Islam di kampung halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda dan Prancis.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Selepas AMS-B (SMA Paspal) 1938, Pak Nas sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Tetapi kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer, terhenti karena invasi Jepang, 1942. Sebagai taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang cukup memalukan. Di situlah muncul keyakinannya bahwa tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah.</span></span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas menarik pelajaran kedua. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Mtode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949).</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pak Nas muda jatuh cinta pada Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini dikaruniai dua putri (seorang terbunuh).</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, Pak Nas acapkali akur dan tidak akur dengan presiden pertama itu. Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952. Ia berada di balik ”Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD.</span></span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Bung Karno akur lagi dengan Pak Nas, lantas mengangkatnya kembali sebagai KSAD tahun 1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada PKI.</span></span><br />
<br />
<span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya. Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Suatu hari tahun 1960, Pak Nas menjawab pertanyaan seorang wartawan Amerika, ”Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia, sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan”.</span></span><br />
<br />
</div><div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 6 September 2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi. Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun.</span></span></div><span style="font-size: small;"><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Biodata Jendral Abdul Haris Nasution</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Nama: Abdul Haris Nasution</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pangkat: Jenderal Bintang Lima</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Lahir : Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Meninggal: Jakarta, 6 September 2000</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Agama : Islam</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Istri: Ny Johanna Sunarti</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Pendidikan :</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= HIS, Yogyakarta (1932)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= HIK, Yogyakarta (1935)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= AMS Bagian B, Jakarta (1938)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Akademi Militer, Bandung (1942)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Universitas Mindanao, Filipina (1971)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Karir :</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Guru di Bengkulu (1938)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Guru di Palembang (1939-1940)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Pegawai Kotapraja Bandung (1943)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Panglima Komando Jawa (1948-1949)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= KSAD (1949-1952)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= KSAD (1955-1962)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">= Ketua MPRS (1966-1972)</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Alamat Rumah :</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Jalan Teuku Umar 40, Jakarta Pusat Telp: 349080</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Referensi :</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">- http://saktinasution.wordpress.com/2010/01/05/biografi-jenderal-besar-abdul-haris-nasution/</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">------------------------------------------------------------------------------------------------------------</span><br style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;" /><span style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">Kumpulan Biografi Tokoh Terkenal dan Tokoh Indonesia Lengkap </span><a href="http://kolom-biografi.blogspot.com/" style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;">www.kolom-biografi.blogspot.com</a></span>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-74164639120784025052010-08-18T23:24:00.005+07:002010-08-19T19:51:50.607+07:00Oswald Siahaan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://i50.tinypic.com/mmy1dv.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="187" src="http://i50.tinypic.com/mmy1dv.jpg" width="320" /></a></div><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Maaf, kami hanya bisa menemukan kapalnya, tolong bantuan kawan-kawan apabila tahu tentang biografi Oswald Siahaan. Kirimkan ke Blog ini atau email ke redaktur kami: daomathias@gmail.com.</span></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-10273604406567494422010-08-18T22:59:00.003+07:002010-08-21T00:42:02.342+07:00Cornel Simanjuntak<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.jakarta.go.id/jakv1/application/public/img/encyclopedia/109ad90f7b4ad08bcbffbefdc6c7fb3a.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="http://www.jakarta.go.id/jakv1/application/public/img/encyclopedia/109ad90f7b4ad08bcbffbefdc6c7fb3a.jpg" width="270" /></a></div><div style="font-family: Arial Narrow; font-size: 24px;"><span style="font-size: large;">Cornel Simanjuntak</span> </div><div style="font-family: Arial Narrow; font-size: 24px;"></div><div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Seorang komponis, lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara 1921. Ia seorang autodidak, pendidikan teori dan praktek musik diperoleh dari pater Yesuit J. Schouten sernasa ia bersekolah guru <i>HIK Xaverius College</i> di Muntilan, Jawa Tengah. Ia meninggal tanggal 15 September 1946 karena penyakit paru-paru yang dideritanya akibat kehidupan tak teratur selama masa perjuangan kemerdekaan, di mana ia ikut ambil bagian secara aktif. Tak banyak karya yang ditinggalkan, diantaranya terutama lagu-lagu yang semuanya menunjukkan daya cipta indah dan kecakapan musiknya yang kuat. Melodinya indah dan penuh<i> charme</i>, seperti pada <i>Mekar Melati</i> dan <i>Mari Berdendang.</i> Lagu-lagu <i>Kemuning</i> dan <i>0, Angin</i> kecuali dengan lirik hangat mengharukan, juga mengandung cita rasa dramatik.</span><br />
<a name='more'></a><span style="font-size: small;"></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dari rencana gubahan opera <i>Madah Kelana</i>, hanya sebagian kecil dapat diselesaikan, akan tetapi lagu-lagu mars perjuangan dan lagu-lagu patriotik gubahannya yang dinyanyikan di seluruh Indonesia, memegang peranan sangat penting dalam menggerakkan semangat perjuangan semasa revolusi fisik. Di antara lagu-lagu jenis ini termasuk <i>Maju Tak Gentar, Tanah Tumpah Darah, Padamu Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia Tetap Merdeka</i> yang lebih terkenal sebagai <i>Sorak-Sorak Bergembira,</i> yang umumnya digubahnya ketika ia dirawat di Sanatorium Pakem, Yogyakarta.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Di masa pendudukan Jepang, ketika bekerja di <i>Keimin Bunka Shidosho</i>, diciptakannya banyak lagu berbau propaganda, tetapi mempunyai arti penting sebagai latihan penciptaan bagi dirinya dan pendidikan musik untuk rakyat. Diantaranya ialah <i>Menanam Kapas, Menabung, Bekerja, Bikin Kapal, Hancurkanlah Musuh Kita</i> yang lebih dikenal sebagai <i>Awaslah Inggris dan Amerika.</i> Karya-karyanya yang lain: <i>Citra, 0 Ale Alogo, Kupinta Lagi, Adigan ma, Di na laho Maridi</i>. Secara anumerta dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan oleh Pemerintah RI tahun 1961. Kerangka jenazahnya tanggal 10 November 1980 dipindahkan dari pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.</span></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-74161868705545721902010-08-18T17:50:00.006+07:002010-08-18T19:41:36.741+07:00Letnan Jenderal T.B. Simatupang<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/ms/f/f6/Tb_simatupang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/ms/f/f6/Tb_simatupang.jpg" /></a></div><br />
<span style="font-size: small;">Tahi Bonar Simatupang (1920-1990)</span><span style="font-size: large;"> </span><br />
<span style="font-size: large;">Sang Jenderal yang Berutang</span><br />
<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><br />
<span style="font-size: small;">Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI (1948-1949) dan Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1954), ini pensiun dini dari dinas militer karena prinsip yang berbeda dengan Presiden Soekarno. Lalu orang yang selalu merasa berutang ini pun mengisi hari-harinya menjadi aktivis gereja. Sampai kemudian menjadi Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (1959-1984), Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia dan Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Yogya, 19 Desember 1948, dinihari. ''Saya tengah rebahan di dipan dan belum melepas pakaian, ketika menjelang matahari terbit itu terdengar suara pesawat berdesingan di udara,'' tutur Simatupang, yang di belakangan hari menjadi sesepuh Dewan Gereja Indonesia. ''Saya menoleh ke atas dari jendela, saya lihat pesawat terbang dengan tanda-tanda Belanda. Ngayogyakarta Hadiningrat, ibu kota Republik pujaan kita, telah diserang.'' </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Renungan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogya di pagi hari itu kemudian ia tuturkan kembali dalam bukunya, Laporan dari Banaran: ''Apakah pagi ini lonceng matinya Republik sedang dibunyikan? Atau apakah Republik kita akan lulus dalam ujian ini?'' Pada saat yang sama, pertanyaan- pertanyaan itu ia jawab sendiri: ''Itu bergantung pada diri kita sendiri, kita yang menyebut diri kaum Republiken. Hari ujian bagi kita telah tiba. Apakah kita loyang? Apakah kita emas?'' </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pagi itu juga, tanpa mandi atau sekadar cuci muka, Simatupang -- yang beberapa hari sebelumnya sibuk sebagai penasihat militer delegasi RI dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville dan lantas aktif pula dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogya -- dengan sigap menghubungi kawan-kawan seperjuangannya untuk menentukan langkah. Keadaan memang gawat. Yogya jatuh. Presiden, wakil presiden, dan para pemimpin lainnya telah ditawan Belanda. Seperti prajurit-prajurit yang lain, Simatupang kemudian bergerilya. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Selama beberapa minggu perang rakyat, sebelum keadaan teratur, Pak Sim -- panggilan akrab Simatupang -- sering diolok-olok sebagai ''diplomat kesasar''. Habis, selama itu ia hampir tidak lepas dari setelan celana abu-abu dan kemeja buatan luar negeri. Bukannya apa-apa, ''Tapi pakaian itulah yang menempel di tubuh saya ketika berangkat bergerilya,'' katanya. Pakaian itu memang ''seragam'' Pak Sim yang khusus ia kenakan selama mengikuti perundingan dengan pihak Belanda, di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Di masa Kemerdekaan ia sempat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang RI. Sebelum pensiun, 1959, pangkat terakhirnya letnan jenderal. ''Saya pensiun oleh karena tidak dapat lagi bekerja sama dengan Presiden Soekarno,'' tutur Pak Sim dalam bukunya, Iman Kristen dan Pancasila (BPK Gunung Mulai, 1984). </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pensiun ternyata bukan berarti istirahat baginya. Pak Sim aktif dalam lembaga pedidikan (sempat menjadi Ketua Yayasan dan Pembinaan Manajemen, misalnya) dan dalam organisasi keagamaan. Ia menjalani kehidupan reflektif di DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia) -- sekarang PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia). ''. di DGI ., mungkin saya akan bisa memberikan sumbangan yang kecil dalam pengembangan landasan-landasan etik teologi bagi tanggung jawab Kristen di suatu masa .,'' kata Pak Sim. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Oleh Th. Sumartana, intelektual muda dari kalangan Kristen, Pak Sim disebut, ''Teoretikus oikumenis pertama yang lahir dari lingkungan gereja-gereja di Indonesia setelah Kemerdekaan. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pak Sim lahir sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara, di tengah keluarga dengan tradisi Gereja Lutheran yang saleh dan tetap kuat memegang adat Batak. Ayahnya, Simon Mangaraja Soaduan Simatupang, terakhir bekerja sebagai pegawai PTT. Pak Sim betah berlama-lama membaca, atau menulis sesuatu, dan selalu tidak lepas dari kaca mata. Ia ayah empat orang anak, satu di antaranya telah meninggal. Istrinya, Sumarti Budiardjo, kebetulan adik kawan seperjuangannya, Ali Budiardjo. Pak Sim dan Bu Sumarti sudah mulai akrab sewaktu berlangsung Konperensi Meja Bundar. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Pak Sim masih setia melakukan lari pagi, dan selalu minum air putih sesudahnya.</span><span style="color: red; font-size: small;"> </span></div><br />
<div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Nama:<br />
</span><span style="font-size: small;">Tahi Bonar Simatupang</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Lahir:<br />
</span><span style="font-size: small;">Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Meninggal:<br />
</span><span style="font-size: small;">Jakarta, 1 Januari 1990</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Agama :<br />
</span><span style="font-size: small;">Kristen</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Isteri:<br />
</span><span style="font-size: small;">Sumarti Simatupang Budiardjo</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Pendidikan:<br />
</span><span style="font-size: small;">-HIS, Pematangsiantar (1934) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-MULO, Tarutung (1937) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-AMS, Jakarta (1940) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Koninklije Militaire Academie (KMA), Bandung (1942) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Universitas Tulsa, AS (Doctor Honoris Causa, 1969) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Karir :<br />
</span><span style="font-size: small;">-Wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI (1948-1949) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1954) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Penasihat Militer di Departemen Pertahanan (1954-1959) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Ketua Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI) (1959-1984) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Asia </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Ketua Yayasan UKI (Universitas Kristen Indonesia) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MP-PGI) (1984-sekarang) </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Karya :<br />
</span><span style="font-size: small;">Karya tulis penting: </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">Antara Lain: -Soal-soal Politik Militer di Indonesia, 1956 </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Pengantar Ilmu Perang di Indonesia, 1969 </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Laporan dari Banaran, Sinar Harapan, 1980 </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun, -Yayasan Idayu, 1980 </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai, Sinar Harapan, 1981 </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Iman Kristen dan Pancasila, BPK Gunung Mulia, 1984 </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;">-Harapan, Keprihatinan dan Tekad: Angkatan 45 Merampungkan Tugas -Sejarahnya, Inti Idayu Press, 1985 </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Penghargaan:<br />
</span><span style="font-size: small;">Bintang Mahaputera Adipradana (9 November 1995)</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="color: red; font-size: small;">Alamat Rumah :<br />
</span><span style="font-size: small;">Jalan Diponegoro 55, Jakarta Pusat</span></div>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4026159472011050483.post-8064553014580910882010-08-18T16:11:00.017+07:002010-08-20T11:46:45.448+07:00Raja Sisingamangaraja XII<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="http://www.antarasumut.com/wp-content/uploads/2008/10/sisingamangaraja1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="http://www.antarasumut.com/wp-content/uploads/2008/10/sisingamangaraja1.jpg" width="295" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><b>Pahlawan Nasional</b></span><br />
<br />
</div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i> </i>Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :</span></div></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span><br />
<span style="font-size: small;"> 1. Menyatakan perang terhadap Belanda</span><br />
<span style="font-size: small;"> 2. Zending Agama tidak diganggu</span><br />
<span style="font-size: small;"> 3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i> </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII. Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang. Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<span style="font-size: small;"> Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span><br />
<div style="text-align: justify;"><span style="font-size: small;"> Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII. Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.</span></div></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i> </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh. Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i>Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><i><span style="font-size: small;"><br />
</span></i></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><i><span style="font-size: small;">Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.</span></i></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Itulah yang dinamakan “Semangat Juang Sisingamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia. Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><br />
Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Dalam upaya melestarikan system nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali khasanah budaya dan system nilai masa silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik, lebih bermutu dan lebih sempurna, maka Lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1997 dan Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri sekitar seratus ribu orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI Maraden Panggabean.</span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><b>Kerajaan</b> </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i> </i></span> </div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Perlu diketahui bahwa kerajaan Raja Singamangaraja XII yang diwarisinya dari leluhurnya bukanlah sebuah kerajaan dalam pengertian umum. Secara politik, beliau hanyalah raja negerinya sendiri, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Negeri_Bangkara&action=edit&redlink=1" title="Negeri Bangkara (halaman belum tersedia)">negeri Bangkara</a><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Ludwig_Ingwer_Nommensen" title="Ludwig Ingwer Nommensen">Ludwig Ingwer Nommensen</a> membuka pos zending di Silindung maka Singamangaraja khawatir kekuasaan Belanda akan segera masuk ke Tanah Batak. </span></div><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;"><i><br />
</i></span></div><h3 style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span class="mw-headline" id="Gelar">Gelar</span></span></h3><div style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;"><span style="font-size: small;">Gelar Singamangaraja adalah gelar kelompok turun temurun yang memiliki keistimewaan wibawa (sahala) raja iman dari cabang marga <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sinambela&action=edit&redlink=1" title="Sinambela (halaman belum tersedia)">Sinambela</a>, tinggal di Bangkara. Karena keistimewaan, keunggulan, kearifan yang berlangsung turun-temurun mereka dihormati sebagian besar orang Batak, khususnya dari belahan marga besar Sumba. Pahlawan nasional Indonesia ini yang disebut juga <b>Ompu Pulo Batu</b> adalah Singamangaraja yang keduabelas.</span></div><h3 style="font-family: Arial,Helvetica,sans-serif;"><span style="font-size: small;"><span class="mw-headline" id="Cap_Si_Singamangaraja_XII"><span style="font-weight: normal;">* Dari berbagai sumber</span></span><i><span class="mw-headline" id="Cap_Si_Singamangaraja_XII"><span style="font-weight: normal;">.</span></span></i></span></h3>Dio Rinaulihttp://www.blogger.com/profile/15385248675046639690noreply@blogger.com0